BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Karya sastra merupakan gambaran kehidupan yang menyangkut
masalah social dalam masyarakat. Persoalan social tersebut merupakan tanggapan
atau respon sastrawan terhadap fenomena social beserta kompleksitas
pernasalahan yang ada disekitarnya. Melalui karya sastra, persoalan tersebut
menjadi potret indah dalam menggambarkan masyarakat dalam menganalisis
kehidupan.
Setiap manusia merupakan individu yang berbeda dengan
individu lainnya.Ia mempunyai watak, temperamen, pengalaman, pandangan dan
perasaan sendiri yang berbeda dengan lainnya. Namun demikian, manusia hidup
tidak lepas dari manusia lain. Pertemuan antarmanusia yang satu dengan manusia
yang lain tidak jarang menimbulkan konflik, baik konflik antara individu,
kelompok maupun anggota kelompok serta antara anggota kelompok yang satu dan
anggotakelompok lain. Karena sangat kompleksnya, manusia juga sering mengalami
konflik dalam dirinya atau konflik batin sebagai reaksi terhadap situasi sosial
di lingkungannya. Dengan kata lain, manusia selalu dihadapkan pada
persoalanpersoalan hidup. Manusia dalam menghadapi persoalan hidupnya tidak
terlepas dari jiwa manusia itu sendiri.Jiwa di sini meliputi pemikiran,
pengetahuan, tanggapan, khalayak dan jiwa itu sendiri (Walgito, 1997:7).
Kejadian atau peristiwa yang terdapat dalam karya
sastra dihidupkan oleh tokoh-tokoh sebagai pemegang peran atau pelaku
alur.Melalui perilaku tokohtokoh yang ditampilkan inilah seorang pengarang
melukiskan kehidupan manusia dengan problem-problem atau konflik-konflik yang
dihadapinya, baik konflik dengan orang lain, konflik dengan lingkungan, maupun
konflik dengan dirinya sendiri.
Karya sastra yang dihasilkan sastrawan selalu
menampilkan tokoh yang memiliki karakter sehingga karya sastra juga
menggambarkan kejiwaan manusia, walaupun pengarang hanya menampilkan tokoh itu
secara fiksi. Dengan kenyataan tersebut, karya sastra selalu terlibat
dalam segala aspek hidup dan kehidupan, tidak terkecuali ilmu jiwa atau
psikologi.Hal ini tidak terlepas dari pandangan dualisme yang menyatakan bahwa
manusia pada dasarnya terdiri atasjiwa dan raga. Maka penelitian yang
meggunakan pendekatan psikologi terhadap karya sastra merupakan bentuk
pemahaman dan penafsiran karya sastra dari sisi psikologi. Alasan ini didorong
karena tokoh-tokoh dalam karya sastra dimanusiakan, mereka semua diberi jiwa,
mempunyai raga bahkan untuk manusia yang disebut pengarang mungkin memiliki
penjiwaan yang lebih bila dibandingkan dengan manusia lainnya terutama dalam
hal penghayatan megenaihidup dan kehidupan (Hardjana, 1985:60).
Sebuah karya sastra khususnya cerpen,
diciptakan oleh pengarang untuk memberikan hiburan untuk para pembacanya.
Selain memberikan hiburan, melalui cerpen kita dapat menilai positif negatifnya
kisah dalam cerpen melalui jalan cerita yang disajikan oleh penulis. Cerpen
karya Muhammad Munawwar berjudul sahabat tanpa bayangan ini merupakan cerpen yang sangat menarik
perhatian saya untuk menganalisis cerpen tersebut, karena dalam cerpen ini
mengandung nilai-nilai kehidupan. Selain itu, cerpen tersebut menyajikan
nilai-nilai moral yang pantas dijadikan pelajaran untuk pembaca. Nilai moral
dalam cerpen sahabat tanpa bayangan ini terdapat nilai moral yang
buruk. “Moral baik merupakan
segala tingkah laku yang dikenal pasti oleh etika sebagai baik, sedangkan moral
buruk merupakan tingkah laku yang dikenal pasti oleh etika sebagai buruk.”
B. Kelebihan dan
Kekurangan Cerpen Sahabat Tanpa Bayangan
Ø Kelebihan
cerpen sahabat tanpa bayangan
·
Menceritakan kisah seorang tokoh yang
dapat menggugah semangat pembaca dalam menghadapi cobaan hidup
·
Cerpen
ini isinya sangat bagus, dapat memberi motivasi pada pembaca untuk tidak
putus asa dalam menghadapi cobaan hidup dalam bersosialisasi
·
Dalam membaca cerpen ini, pembaca seakan-akan terbawa suasana
·
Juga pembaca dalam membaca cerpen ini
bisa membayangkan seperti kisah nyata
Ø Kekurangan
cerpen sahabat tanpa bayangan
·
Kata-kata yang digunakan dalam
penulisan cerpen ini sangat sederhana
·
Bahasa yang digunakan pun juga sangat
sederrhana
·
Kisahnya terlalu singkat, tidak jelas
lanjutan kisahnya dari babak ke babak selanjutnya
·
Karena sangat singkat-singkat
menjadikan ketidak puasan pembaca ketika mengakhiri membaca
C. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana penerapan pendekatan
pragmatik dalam cerpen “sahabat tanpa bayangan karya Muhammad Munawwar”?
2.
Bagaimanakah nilai moralyang terkandung pada cerpen “sahabat
tanpa bayangan” Karya Muhammad
Munawwar melalui pendekatan moral?
BAB
II
LANDASAN
TEORI
- Kritik Sastra
1.
Pengertian Kritik
Sastra
Istilah
"kritik" (sastra) berasal dari Bahasa Yunani yaitu "krites"
yang berarti "hakim". "Krites" sendiri berasal dari
"krinein" yang berarti "menghakimi"; "kriterion"
yang berarti "dasar penghakiman" dan "kritikos" berarti
"hakim kesusastraan". Kritik sastra dapat diartikan sebagai salah
satu objek studi sastra (cabang ilmu sastra) yang melakukan analisis,
penafsiran, dan penilaian terhadap teks sastra sebagai karya seni.
Menurut
Graham Hough (1966: 3), kritik sastra tidak hanya terbatas pada penyuntingan,
penetapan teks, interpretasi, serta pertimbangan nilai. Menurutnya, kritik
sastra meliputi masalah yang lebih luas tentang apakah kesusastraan itu
sendiri, apa tujuannya, dan bagaimana hubungannya dengan masalah-masalah
kemanusiaan yang lain.
Abrams
dalam "Pengkajian Sastra" (2005: 57) mendeskripsikan bahwa kritik
sastra merupakan cabang ilmu yang berurusan dengan perumusan, klasifikasi,
penerangan, dan penilaian karya sastra.
Menurut
Rene Wellek dan Austin Warren, studi sastra (ilmu sastra) mencakup tiga bidang,
yakni: teori sastra, kritik sastra, dan sejarah sastra. Ketiganya memiliki
hubungan yang erat dan saling mengait. Kritik sastra dapat diartikan sebagai
salah satu objek studi sastra (cabang ilmu sastra) yang melakukan analisis,
penafsiran, dan penilaian terhadap teks sastra.
2.
Fungsi Kritik Sastra
Menurut Pradopo,
fungsi utama kritik sastra dapat digolongkan menjadi tiga yaitu:
- Untuk perkembangan ilmu sastra sendiri. Kritik sastra dapat membantu penyusunan teori sastra dan sejarah sastra. Hal ini tersirat dalam ungkapan Rene wellek, "Karya sastra tidak dapat dianalisis, digolong-golongkan, dan dinilai tanpa dukungan prinsip-prinsip kritik sastra."
- Untuk perkembangan kesusastraan. Maksudnya, kritik sastra membantu perkembangan kesusastraan suatu bangsa dengan menjelaskan karya sastra, mengenai baik buruknya, dan menunjukkan daerah-daerah jangkauan persoalan karya sastra.
- Sebagai penerangan masyarakat, umumnya yang menginginkan penjelasan tentang karya sastra, kritik sastra menguraikan (menganalisis, menginterpretasi, dan menilai) karya sastra agar masyarakat umum dapat mengambil manfaat kritik sastra ini bagi pemahaman dan apresiasinya terhadap karya sastra (Pradopo, 2009: 93).
Berdasarkan uraian di
atas, maka fungsi kritik sastra dapat digolongkan menjadi dua:
- Fungsi kritik sastra untuk pembaca:
- Membantu memahami karya sastra.
- Menunjukkan keindahan yang terdapat dalam karya sastra.
- Menunjukkan parameter atau ukuran dalam menilai suatu karya sastra.
- Menunjukkan nilai-nilai yang dapat dipetik dari sebuah karya sastra.
- Fungsi kritik sastra untuk penulis:
- Mengetahui kekurangan atau kelemahan karyanya.
- Mengetahui kelebihan karyanya.
- Mengetahui masalah-masalah yang mungkin dijadikan tema tulisannya.
3.
Manfaat Kritik Sastra
Manfaat dari kritik
sastra dapat diuraikan menjadi 3, yaitu:
Ø
Manfaat kritik sastra
bagi penulis:
a.
Memperluas wawasan
penulis, baik yang berkaitan dengan bahasa, objek atau tema-tema tulisan,
maupun teknik bersastra.
b.
Menumbuhsuburkan
motivasi untuk menulis.
c.
Meningkatkan kualitas
tulisan.
Ø
Manfaat kritik sastra
bagi pembaca:
·
Menjembatani
kesenjangan antara pembaca dan karya sastra.
·
Menumbuhkan kecintaan
pembaca terhadap karya sastra
·
Meningkatkan
kemampuan dalam mengapresiasi karya sastra.
·
Membuka mata hati dan
pikiran pembaca akan nilai-nilai yang terdapat dalam karya sastra.
Ø
Manfaat kritik sastra
bagi perkembangan sastra:
1.Mendorong laju
perkembangan sastra, baik secara kualitatif maupun kuantitatif.
2. Memperluas
cakrawala atau permasalahan yang ada dalam karya sastra.
4.
Jenis-Jenis
Pendekatan Kritik Sastra
Abrams (1981: 36-37)
membagi pendekatan terhadap suatu karya sastra ke dalam empat tipe yakni kritik
mimetik, kritik pragmatik, kritik ekspresif, dan kritik objektif.
v
Kritik Mimetik
Menurut Abrams,
kritik jenis ini memandang karya sastra sebagai tiruan aspek-aspek alam. Karya
sastra dianggap sebagai cerminan atau penggambaran dunia nyata, sehingga ukuran
yang digunakan adalah sejauh mana karya sastra itu mampu menggambarkan objek
yang sebenarnya. Semakin jelas karya sastra menggambarkan realita yang ada,
semakin baguslah karya sastra itu. Kritik jenis ini jelas dipengaruhi oleh
paham Aristoteles dan Plato, yang menyatakan bahwa sastra adalah tiruan
kenyataan. Di Indonesia, kritik jenis ini banyak digunakan pada Angkatan 45.
v
Kritik Pragmatik
Kritik jenis ini
memandang karya sastra sebagai alat untuk mencapai tujuan (mendapatkan sesuatu
yang diharapkan). Tujuan karya sastra pada umumnya bersifat edukatif, estetis,
atau politis. Dengan kata lain, kritik ini cenderung zx menilai karya sastra
atas keberhasilannya mencapai tujuan.
Ada yang berpendapat
bahwa kritik jenis ini lebih bergantung pada pembacanya (reseptif). Kritik
jenis ini berkembang pada Angkatan Balai Pustaka. Sutan Takdir Alisjahbana
pernah menulis kritik jenis ini yang dibukukan dengan judul "Perjuangan
dan Tanggung Jawab dalam Kesusastraan".
v
Kritik Ekspresif
Kritik ekspresif
menitikberatkan pada diri penulis karya sastra itu. Kritik ekspresif meyakini
bahwa sastrawan (penulis) karya sastra merupakan unsur pokok yang melahirkan
pikiran-pikiran, persepsi-persepsi, dan perasaan yang dikombinasikan dalam
karya sastra. Dengan menggunakan kritik jenis ini, kritikus cenderung menimba
karya sastra berdasarkan kemulusan, kesejatian, kecocokan penglihatan mata
batin penulis atau keadaan pikirannya.
Pendekatan ini sering
mencari fakta tentang watak khusus dan pengalaman-pengalaman sastrawan yang,
secara sadar atau tidak, telah membuka dirinya dalam karyanya. Umumnya,
sastrawan romantik zaman Balai Pustaka atau Pujangga Baru menggunakan orientasi
ekspresif ini dalam teori-teori kritikannya. Di Indonesia, contoh kritik sastra
jenis ini antara lain:
- "Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan" karya Arif Budiman.
- "Di Balik Sejumlah Nama" karya Linus Suryadi.
- "Sosok Pribadi dalam Sajak" karya Subagio Sastro Wardoyo.
- "WS Rendra dan Imajinasinya" karya Anton J. Lake.
- "Cerita Pendek Indonesia: Sebuah Pembicaraan" karya Korrie Layun Rampan.
v
Kritik Objektif
Kritik jenis ini
memandang karya sastra sebagai sesuatu yang mandiri, bebas terhadap lingkungan
sekitarnya; dari penyair, pembaca, dan dunia sekitarnya. Karya sastra merupakan
sebuah keseluruhan yang mencakupi dirinya, tersusun dari bagian-bagian yang
saling berjalinan erat secara batiniah dan menghendaki pertimbangan dan
analitis dengan kriteria-kriteria intrinsik berdasarkan keberadaan
(kompleksitas, koherensi, keseimbangan, integritas, dan saling berhubungan
antar unsur-unsur pembentuknya).
Jadi, unsur intrinsik
(objektif)) tidak hanya terbatas pada alur, tema, tokoh, dsb.; tetapi juga
mencakup kompleksitas, koherensi, kesinambungan, integritas, dsb..
Pendekatan kritik
sastra jenis ini menitikberatkan pada karya-karya itu sendiri. Kritik jenis ini
mulai berkembang sejak tahun 20-an dan melahirkan teori-teori:
ü
New Critics di AS
ü
Formalisme di Eropa
ü
Strukturalisme di
Perancis
Di Indonesia, kritik
jenis ini dikembangkan oleh kelompok kritikus aliran Rawamangun:
·
"Bentuk Lakon
dalam Sastra Indonesia" karya Boen S. Oemaryati.
·
"Novel Baru Iwan
Simatupang" karya Dami N. Toda.
·
"Pengarang-Pengarang
Wanita Indonesia" karya Th. Rahayu Prihatmi.
·
"Perkembangan
Novel-Novel di Indonesia" karya Umar Yunus.
·
"Perkembangan
Puisi Indonesia dan Melayu Modern" karya Umar Yunus.
·
"Tergantung pada
Kata" karya A. Teeuw
B.
Pengertian Cerpen
Cerpen adalah karangan pendek yang berbentuk prosa.
Dalam cerpen dipisahkan sepenggal kehidupan tokoh, yang penuh pertikaian,
peristiwa yang mengharukan atau menyenangkan, dan mengandung kesan yang tidak
mudah dilupakan (Kosasih dkk, 2004:431)
Nugroho Notosusanto (dalam Tarigan, 1993:176)
mengatakan bahwa cerpen adalah ceritayang panjangnya di sekitar 5000 kata atau
kira-kira 17 halaman kuarto spasi yang terpusat dan lengkap pada dirinya
sendiri. Untuk menentukan panjang cerpen memang sulit untuk ukuran yang
umum, cerpen selesai dibaca dalam waktu 10 sampai 20 menit. Jika
cerpennya lebih panjang mungkin sampai 1½ atau 2 jam. Yang jelas tidak ada
cerpen yang panjang 100 halaman (Surana, 1987:58).
v Ciri-ciri Cerpen (Nugroho
Notosusanto (dalam Tarigan, 1993:176))
- Alur lebih sederhana,
- Tokoh yang dimunculkan hanya beberapa orang,
- Latar yang dilukiskan hanya sesaat dan dalam lingkungan yang relatif terbatas,
- Tema dan nilai-nilai kehidupan yang disampaikan relatif sederhana.
v Fungsi Sastra dalam Cerpen (Nugroho Notosusanto (dalam Tarigan, 1993:176))
1. Fungsi rekreatif, yaitu memberikan rasa senang, gembira, serta menghibur
para penikmat atau pembacanya.
2. Fungsi didaktif, yaitu mengarahkan dan mendidik para
penikmat atau pembacanya karena nilai-nilai kebenaran dan kebaikan yang
terkandung didalamnya.
3. Fungsi estetis, yaitu memberikan keindahan bagi para
penikmat atau para pembacanya.
4. Fungsi moralitas, yaitu fungsi yang mengandung nilai moral sehingga para
penikmat atau pembacanya dapat mengetahui moral yang baik dan tidak baik bagi
dirinaya.
5. Fungsi relegiusitas, yaitu mengandung ajaran agama
yang dapat dijadikan teladan bagi para penikmatnya atau pembacanya.
C.
Pengertian
Pendekatan Pragmatik
Secara umum pendekatan pragmatik adalah
pendekatan kritik sastra yang ingin memperlihatkan kesan dan penerimaan pembaca
terhadap karya sastra dalam zaman ataupun sepanjang
Sedangkan menurut
para ahli mendefinisikan pendekatan pragmatic adalah sebagai berikut:
1. Menurut Teeuw, 1994 teori pendekatan
pragmatik adalah salah satu bagian ilmu sastra yang merupakan pragmatik kajian
sastra yang menitik beratkan dimensi pembaca sebagai penangkap dan pemberi
makna terhadap karya satra.
2. Relix Vedika ( Polandia ), pendekatan
pragmatik merupakan pendekatan yang tak ubahnya artefak ( benda mati )
pembacanyalah yang menghidupkan sebagai proses konkritasi.
3. Dawse dan User 1960, pendekatan
pragmatik merupakan interpensi pembaca terhadap karya sastra ditentukan oleh
apa yang disebut “horizon penerimaan” yang mempengaruhi kesan tanggapan dan
penerimaan karya sastra.
Pendekatan ini
menganut prinsip bahwa sastra yang baik adalah sastra yang dapat memberi
kesenangan dan kaidah bagi pembacanya dengan begitu pendekatan ini
menggabungkan unsure pelipur lara dan unsure dedaktif. Pemanfaatan pendekatan
ini harus berhadapan dengan realitifitas konsep keindahan dan konsep nilai
dedaktif. Setiap genersai, setiap kurun tertentu di haruskan menceritakan nilai
keindahan hal itu tidak berarti bahwa interprestasi hanya subjektif belaka.
D. Pendekatan Moral
Ukuran moral dalam memandang karya sastra sebagai bagian
dari aktivitas kemanusiaan dan nilai-nilai tertentu dalam kehidupan manusia,
serta menjelaskan dengan referensi yang bertolak pada keseluruhan kode moral
atau nilai-nilai tertentu yang mengandung unsur baik dan buruk.
Luxemburg,dkk (1989:47-48) dalam bukunya Tentang Sastra (Jakarta: ILDEP dan
Intermansa) menyatakan bahwa suatu karya sastra dapat di nilai menutut tolak
ukur morall, yaitu sejauh mana karya itu mengemukakan sikap moral (yang di
anggap benar).
Sastra harus mampu menjadi wadah penyampaian ide-ide yang
di pikirka da di rasaka oleh sastrawan
tentang kehidupan manusia.Karya sastra amat penting bagi kehidupan rohani
manusa. Oleh karena sastra adalah karya seni yag bertulangpunggung pada cerita,
maka mau tidak mau karya sastra dapat membawa pesan atau imbauan kepada
pembaca.
Pesan
ini dinamakan moral atau amanat. Dengan demikian, sastra di anggap sarana
pendidikan moral . Moral sendiri diartikan sebagai suatu norma. Suatu konsep
tentang kehidupan yang di junjung tinggi oleh sebagian besar masyarakat
tertentu. Pengalaman mental yang disampaikan pengarang belum tentu sejalan
dengan kepentingan moral.
Berdasarkan
para ahli maka dapat disimpulkan bahwa aspek moral adalah ukuran yang digunakan
untuk menentukan betul salahnya sikap dan tindakan manusiadi lihat dari segi
baik buruknya berdasarkan pandangan hidup masyarakat. Nilai-nilai moralis yang
tercantum dalam karya sastra dapat berbentuk tingkah laku yang sesuai dengan
kesusilaan,budi pekerti, dan juga akhlak.
E. Penokohan Karya Sastra
Penokohan sebuah fiksi
tidak bisa dilepaskan dari tokoh. Tokoh menunjuk pada orangnya, pelaku cerita
(Nurgiantoro, 2010:165). Penokohan menurut Jones, (dalam Nurgiantoro,2010)
adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam
sebuah cerita. Tokoh-tokoh dalam fiksi meskipun merupakan rekaan atau imajinasi
pengarang, tokoh-tokoh fiksi tetap membangun satu-kesatuan dengan unsur-unsur
fiksi lainnya (tema, alur, setting). Tokoh-tokoh diciptakan oleh pengarang
sehingga mampu menggambarkan karakternya masing-masing. Tokoh protagonis maupun
antagonis yang diciptakan pengarang disesuaikan dengan tuntutan cerita sehingga
karya fiksinya menjadi kuat. Karakter menurut Abrams, (1981:20), apa yang
dikatakan dan apa yang dilakukan.
Karakter menurut Ali, (dalam Korrie Layun Rampan,
2009:5) adalah pelukisan manusia yang menjadi pelaku, manusia yang menjadi
objek penulis. Setiap manusia memunyai keistimewaan dan kelemahan tersendiri
memunyai berbagai rasa ketika menghadapi atau berada dalam situasi tertentu.
Ini berarti seorang penulis
cerpen hendaknya rajin memperhatikan perilaku atau kebiasaan seseorang.
Kebiasaan itu bisa berupa cara berkata, cara menghadapi permasalahan-
permasalahan. Keceriannya, kesedihannya akan lebih baik lagi jika membaca
buku-buku psikologi sehingga lebih memperkuat dalam menggambarkan watak tokoh.
Penulis cerpen bisa mengamati karakter orang-orang terdekat atau teman-teman
terdekat, misalnya, seseorang yang suka tertawa pingkal-pingkal sampai
meneteskan air mata. Orang yang pendiam, tetapi sekali waktu mampu membuat
orang lain tertawa. Atau orang yang selalu serius setiap menghadapi masalah.
Sumardjo memberikan cara
agar bisa menggambarkan watak tokoh bisa dilakukan dengan perbuatannya,
ucapannya, fisiknya, pikiran-pikiran tokoh, dan bisa melalui penerangan
langsung. Penggambaran watak akan semakin hidup apabila penulis cerpen
benar-benar menghayati karakter-karakter yang digambarkannya. Menurut Fananie
(2002:87), karakter tokoh yang dipakai pengarang bermacam-macam. Misalnya
melalui tampilan fisik, dan bisa digambarkan secara tidak langsung. Pengarang
mengembangkan tokoh-tokohnya tidak bisa lepas dari kebiasaan kreativitasnya.
Fiksi mengandung dan menawarkan model kehidupan seperti disikapi dan dialami
tokoh-tokoh cerita sesuai dengan pandangan pengarang terhadap kehidupan
(Nurgiantoro, 2010:166).
BAB III
PEMBAHASAN
1.
Sinopsis
cerpen Sahabat Tanpa Bayangan Karya Muhammad Munawwar
SAHABAT TANPA BAYANGAN
Setiap manusia pasti mengalami rasa sakit dan perihnya
ditinggal bahkan diacuhkan. Apalagi yang melakukannya adalah orang terdekat,
terlebih yang seharusnya ada untuk menjaga dan mendampingi kita. Sakit memang,
saat mereka yang seharusnya membela kita, justru menghancurkan kita, menindas,
menjelekkan dan menjatuhkan kita. Kecewa memang saat mereka yang seharusnya
menjaga rahasia kita justru membuka aib yang ada bahkan semakin diperparah
dengan hal yang tidak-tidak. Aku mengalaminya dan semua itu sangat sakit.
Bagaimana bisa orang yang seharusnya ada disamping kita
selalu sibuk dengan urusan di luar rumah. Aku tahu mereka punya hal yang harus
dikerjakan di sana. Tapi, tidaklah mereka rindu denganku, rindu suasana bersama
yang dulu.
Aku terpuruk sendiri. Ketika aku membutuhkan mereka tak
pernah ada. Mereka tak pernah mendengar keluh kesahku, masalahku. Mereka tak
pernah menanyakan kabar hebat yang aku dapatkan. Kadang aku rindu pelukan
mereka, rindu belaian tangan mereka. Aku terasing sendiri. Bila mereka bisa
memberikannya pada dia, mengapa tidak untukku? Aku iri, sekali lagi aku iri.
Setiap kali aku harus kuhapus air mata ini sendiri. Setiap kali harus tertatih
terbangun sendiri, setiap kali aku menangis mendekap udara hampa karena
menghadapi ketakutan seorang diri. Semua aku lakukan sendiri. Mereka menuntutku
menjadi makhluk yang sempurna sesuai kemauan mereka. Tapi mereka tak pernah
mengajarkan bagaimana caranya. Mereka hanya menuntut terus-menerus. Sedang aku
tak mampu walau aku berusaha. Dan mereka terus meyalahkanku ketika aku
tersandung tanpa pernah membenarkaknku. Mana ku tau?
Aku bahagia hidup sendiri. Teman yang ada selalu hadir silih
berganti. Aku bagai tak punya sahabat dalam hidupku. Yah semua orang punya
masalah masing-masing. Aku hanya berteman dengan jiwaku sendiri. Aku nyaman
dengan cara ini. Karena jiwaku tak pernah mengecewakan aku seperti yang telah
mereka lakukan. Hingga aku menemukan satu titik jenuh. Aku berlari kesana
kemari. Aku berlari dan terus berlari tanpa henti. Berlari jauh ketempat asing
bagiku, tempat yang belum pernah kujamah sebelumnya. Hingga aku bertemu
segerombolan anak-anak yang aku yakin bernasib sama sepertiku. Aku tahu, mereka
senasib denganku.
Kuberanikan masuk, mereka langsung menyambut hangat dengan
senyum kuat mereka. Tanpa menanyakan siapa aku, mereka merangkulku. Seorang
anak yang aku yakin dia adalah pemimpin kelompok ini mempersilahkanku untuk
bercerita, menumpahkan seluruh beban dan curahan dadaku. Tanpa piker panjang
dan memikirkan hal lain. Aku mulai melupakan semua yang ingin kukatakan, semua
yang selama ini tertahan di dadaku. Aku menangis tapi mereka tersenyum dengan
tatapan hangat mereka. Mereka semua merangkulku lagi “ kita semua saudara,
karena kita bernasib sama. Kita pernah terjatuh dan sakit. Namun kita bangkit
bersama. Tenang saja, kami akan mengajarimu bangkit, kami tidak meminta imbalan
apa-apa atas ini semua. Tapi, satu permintaan kami. Saat kau sembuh dan kuat
untuk melangkah setelah bangkit, tolong bantu saudara kita yang lain yang bernasib
sama seperti kita. Bahwa dia kemari kita akan menyembuhkan mereka bersama-sama”
kata pemimpin kelompok. Aku mengerti apa yang dia katakan. Dari sinilah
kutemukan keluarga baru.
2.
Pendekatan Pragmatik dalam cerpen sahabat
tanpa bayangan
Cerpen
yang berjudul sahabat tanpa bayangan karya Muhammad Munawwar dapat
dianalisis dengan menggunakan pendekatan pragmatik. Pendekatan pragmatik adalah
pendekatan yang memandang karya sastra sebagai sarana untuk menyampaikan tujuan
tertentu kepada pembaca. Dalam hal ini tujuan tersebut dapat berupa tujuan
politik, pendidikan, moral, agama, maupun tujuan lain. Dalam praktiknya
pendekatan ini cenderung menilai karya sastra menurut keberhasilannya dalam
mencapai tujuan tertentu bagi pembaca (Pradopo, 1994) via Wiyatmi.
Cerpen sahabat tanpa
bayangan menceritakan tentang tokoh “aku” yang menceritakan tentang kisahnya
yakni permasalahan dengan sahabatnya yang meninggalkannya.
Setiap manusia pasti
mengalami rasa sakit dan perihnya ditinggal bahkan diacuhkan. Apalagi yang
melakukannya adalah orang terdekat, terlebih yang seharusnya ada untuk menjaga
dan mendampingi kita.
Tokoh
“aku” merasakan keterpurukan pada dirinya karena sahabat-sahabatnya tidak
pernah peduli dengannya.
Aku
terpuruk sendiri. Ketika aku membutuhkan mereka tak pernah ada. Mereka tak
pernah mendengar keluh kesahku, masalahku. Mereka tak pernah menanyakan kabar
hebat yang aku dapatkan. Kadang aku rindu pelukan mereka, rindu belaian tangan
mereka. Aku terasing sendiri. Bila mereka bisa memberikannya pada dia, mengapa
tidak untukku? Aku iri, sekali lagi aku iri. Setiap kali aku harus kuhapus air
mata ini sendiri. Setiap kali harus tertatih terbangun sendiri, setiap kali aku
menangis mendekap udara hampa karena menghadapi ketakutan seorang diri. Semua
aku lakukan sendiri. Mereka menuntutku menjadi makhluk yang sempurna sesuai
kemauan mereka. Tapi mereka tak pernah mengajarkan bagaimana caranya. Mereka
hanya menuntut terus-menerus. Sedang aku tak mampu walau aku berusaha. Dan
mereka terus meyalahkanku ketika aku tersandung tanpa pernah membenarkaknku.
Mana ku tau?
Tokoh “aku” merasa tak punya sahabat dalam
hidupnya, karena meski silih berganti teman yang menghampirinya tetapi tak ada
yang sesuai dengan keinginannya.
Aku
bahagia hidup sendiri. Teman yang ada selalu hadir silih berganti. Aku bagai
tak punya sahabat dalam hidupku.
Tokoh “aku” memilih untuk menyendiri
tanpa seorang teman, karena menurutnya menyendiri lebih nyaman baginya.
Yah
semua orang punya masalah masing-masing. Aku hanya berteman dengan jiwaku
sendiri. Aku nyaman dengan cara ini. Karena jiwaku tak pernah mengecewakan aku
seperti yang telah mereka lakukan.
Apapun yang dilakukan manusia pasti ada
titik kejenuhan, seperti halnya yang dialami tokoh “aku” yang memilih hidup
sendiri tanpa seorang teman yang akhirnya mengalami kejenuhan, yang akhirnya ia
berlari tuk mencari tempat tuk mengobati kejenuhannya itu.
Hingga
aku menemukan satu titik jenuh. Aku berlari kesana kemari. Aku berlari dan
terus berlari tanpa henti. Berlari jauh ketempat asing bagiku, tempat yang
belum pernah kujamah sebelumnya. Hingga aku bertemu segerombolan anak-anak yang
aku yakin bernasib sama sepertiku. Aku tahu, mereka senasib denganku.
Manusia hidup tidaklah hanya dihadapkan
dengan permasalahan saja. Tokoh “aku” pada akhirnya menemukan teman atau
sahabat yang sesuai dengan keinginannya.
Kuberanikan
masuk, mereka langsung menyambut hangat dengan senyum kuat mereka. Tanpa
menanyakan siapa aku, mereka merangkulku. Seorang anak yang aku yakin dia
adalah pemimpin kelompok ini mempersilahkanku untuk bercerita, menumpahkan
seluruh beban dan curahan dadaku. Tanpa piker panjang dan memikirkan hal lain.
Aku mulai melupakan semua yang ingin kukatakan, semua yang selama ini tertahan
di dadaku. Aku menangis tapi mereka tersenyum dengan tatapan hangat mereka.
Mereka semua merangkulku lagi “ kita semua saudara, karena kita bernasib sama.
Kita pernah terjatuh dan sakit. Namun kita bangkit bersama. Tenang saja, kami
akan mengajarimu bangkit, kami tidak meminta imbalan apa-apa atas ini semua.
Tapi, satu permintaan kami. Saat kau sembuh dan kuat untuk melangkah setelah
bangkit, tolong bantu saudara kita yang lain yang bernasib sama seperti kita.
Bahwa dia kemari kita akan menyembuhkan mereka bersama-sama” kata pemimpin
kelompok. Aku mengerti apa yang dia katakan. Dari sinilah kutemukan keluarga
baru.
3.
Nilai
moral yag terdapat pada cerpen sahabat tanpa bayangan
Ukuran moral dalam
memandang karya sastra sebagai bagian dari aktivitas kemanusiaan dan
nilai-nilai tertentu dalam kehidupan manusia, serta menjelaskan dengan
referensi yang bertolak pada keseluruhan kode moral atau nilai-nilai tertentu
yang mengandung unsur baik dan buruk.
Begitu juga pada cerpen sahabat
tanpa bayangan yang banyak menguraikan moral baik dan buruk di dalamnya.
Moral buruk yang dilakukan oleh sahabat dan teman-teman
tokoh “aku”, dimana moral buruk itu tidaklah seharusnya dilakukan oleh seorang
teman atau sahabat kepada tokoh “aku”
Sakit
memang, saat mereka yang seharusnya membela kita, justru menghancurkan kita, menindas,
menjelekkan dan menjatuhkan kita. Kecewa memang saat mereka yang seharusnya
menjaga rahasia kita justru membuka aib yang ada bahkan semakin diperparah
dengan hal yang tidak-tidak. Aku mengalaminya dan semua itu sangat sakit.”
Moral buruk para sahabat tokoh “aku”
yang selalu menuntut lebih pada tokkoh “aku”
Mereka
menuntutku menjadi makhluk yang sempurna sesuai kemauan mereka. Tapi mereka tak
pernah mengajarkan bagaimana caranya. Mereka hanya menuntut terus-menerus.
Sedang aku tak mampu walau aku berusaha. Dan mereka terus meyalahkanku ketika
aku tersandung tanpa pernah membenarkaknku. Mana ku tau?
Moral baik dari sekelompok teman baru tokoh “aku”, menyambut
tokoh “aku” yang belum pernah dikenal dengan senyuman dan juga pelukan.
Kuberanikan
masuk, mereka langsung menyambut hangat dengan senyum kuat mereka. Tanpa
menanyakan siapa aku, mereka merangkulku
Moral baik pemimpin kelompok yang
mempersilahkan tokoh “aku” untuk mengungkapkan masalahnya.
Seorang
anak yang aku yakin dia adalah pemimpin kelompok ini mempersilahkanku untuk
bercerita, menumpahkan seluruh beban dan curahan dadaku.
Moral baik kelompok kepada tokoh “aku”,
mereka menampakkan kepeduliannya kepada tokoh “aku” dengan memeluknya
Mereka
semua merangkulku lagi “ kita semua saudara, karena kita bernasib sama
Moral baik dari kelompok itu kepada
tokoh “aku” yakni dengan memberi semangat dan memberi jalan keluar dari
permasalahannya, tanpa meminta imbalan apapun.
Tenang
saja, kami akan mengajarimu bangkit, kami tidak meminta imbalan apa-apa atas ini
semua.
Moral baik ketua kelompok meminta pada tokoh “aku” untuk
membantu orang yang mempunyai permasalahan sama seperti tokoh “aku”
Tapi,
satu permintaan kami. Saat kau sembuh dan kuat untuk melangkah setelah bangkit,
tolong bantu saudara kita yang lain yang bernasib sama seperti kita.
Moral baik berisi tentang ketua kelompok menyampaikan
bahwa mereka menyediakan tempat itu untuk menyembuhkan siapa saja yang bernasib
seperti mereka dan bersama-sama untuk menyembuhkan
Bawa
dia kemari kita akan menyembuhkan mereka bersama-sama” kata pemimpin kelompok.
Aku mengerti apa yang dia katakan. Dari sinilah kutemukan keluarga baru.
BAB
IV
PENUTUP
1. Cerpen
yang berjudul sahabat tanpa bayangan
dianalisis dengan menggunakan pendekatan pragmatik memberi gambaran tentang
kehidupan tokoh “aku” yang mempunyai sahabat-sahabat yang bermoral buruk,
hingga akhirnya ia ditinggal sahabatnya karena tidak bisa menyesuaikan dengan
apa yang diiinginkan sahabat-sahabatnya, tokoh “aku” berlari mencari ketenangan
yang berakhir menemukan kelompok yang mempunyai moral baik.
2. Nilai
moral yang terkandung dalam cerpen sahabat
tanpa bayangan yakni terdapat nilai buruk yang dilakukan para sahabat tokoh
“aku” yang selalu menututnya menjadi manusia yang sempurna tanpa pernah
mengajari atau menuntunnya tapi membiarkan tokoh aku terpuruk, hinga terjatuh
tak pernah terhiraukan. Moral baik tergambar pada sikap teman baru tokoh aku
yang memberikan motivasi untuk bangkit lagi kepada tokoh “aku”
3. Analisis
pragmatic novel sahabat tanpa bayangan, dapat dikorelasikan dengan topic power
point bomor 13, yakni ukuran moral.
Karena di dalam novel sahabat tanpa bayangan terdapat banyak nilai kehidupan, menyajikan
masalah-masalah norma moral, dan membahas pengalaman hidup.
4. Analisis
pragmatic cerpen sahabat tanpa bayangan , juga dapat dikorelasikan sesuai
dengan topic power point nomor 17,
yakni memiliki nilai estetika. Karena dalam sahabat tanpa bayangan dapat
menghidupkan atau memperbarui pengetahuan pembaca.
DAFTAR
PUSTAKA
Arikunto,
Suharsimi.1999. Prosedur Penelitian
Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.
Badudu,
J.S. 1979. Sari Kesusasteraan Indonesia Jilid 2. Bandung: Pustaka
Prima.
Departemen Pendidikan Nasional. 2001. Kamus Besar
Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Luxemburg,dkk. 1989.Tentang
Sastra.Jakarta: ILDEP dan Intermansa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar