Minggu, 14 Juni 2015

bekal menyambut shoumu romadhon




3 Bekal Menyambut Ramadhan

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Tinggal menunggu hitungan jam kita akan memasuki bulan penuh barokah, Ramadhan mubarok. Tidak terlambat memang, walau hal ini baru rumaysho.com sampaikan karena mengingat beberapa waktu lalu website dalam masa rekontruksi server. Kita akan melihat tiga bekal yang semestinya disiapkan sebelum memasuki bulan Ramadhan yang kami simpulkan dari wejangan para ulama. Tiga bekal tersebut adalah:
Pertama: Bekal ilmu.
Bekal ini amat utama sekali agar ibadah kita menuai manfaat, berfaedah, dan tidak asal-asalan. ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz berkata,
مَنْ عَبَدَ اللهَ بِغَيْرِ عِلْمٍ كَانَ مَا يُفْسِدُ أَكْثَرَ مِمَّا يُصْلِحُ
Barangsiapa yang beribadah kepada Allah tanpa ilmu, maka dia akan membuat banyak kerusakan daripada mendatangkan kebaikan.”  (Al Amru bil Ma’ruf, hal. 15). Tidak tahu akan hukum puasa, bisa jadi puasa kita rusak. Tidak tahu apa saja hal-hal yang disunnahkan saat puasa, kita bisa kehilangan pahala yang banyak. Tidak tahu jika maksiat bisa mengurangi pahala puasa, kita bisa jadi hanya dapat lapar dan dahaga saja saat puasa. Tidak tahu jika dzikir bareng-bareng entah sehabis shalat lima waktu atau di antara tarawih atau sehabis witir, itu tidak ada dalilnya, akhirnya yang didapat hanya rasa capek karena tidak menuai pahala. Ingatlah syarat diterimanya ibadah bukan hanya ikhlas. Ibadah bisa diterima jika mengikuti tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, alias ada dalilnya. Namun demikianlah masyarakat kita kadang beribadah asal-asalan, asal ‘ngikut’, yang penting ikhlas katanya, padahal ibadah yang dilakukan tidak ada dalil dan tuntunannya. Apa saja kata pak Kyai, pokoknya ‘manut’? Wallahul musta’an.
Silakan pembaca rumaysho.com membaca artikel-artikel puasa dan amalan di bulan Ramadhan di web ini. Sudah disajikan di category puasa dan amalan secara lebih lengkap. Semoga dengan ilmu tersebut, ibadah kita menjadi lebih baik dan diterima oleh Allah.
Kedua: Perbanyak taubat.
Inilah yang dianjurkan oleh para ulama kita. Sebelum memasuki bulan Ramadhan, perbanyaklah taubat dan istighfar. Semoga di bulan Ramadhan kita bisa menjadi lebih baik. Kejelekan dahulu hendaklah kita tinggalkan dan ganti dengan kebaikan di bulan Ramadhan. Ingatlah bahwa syarat taubat yang dijelaskan oleh para ulama sebagaimana dinukil oleh Ibnu Katsir rahimahullah, “Menghindari dosa untuk saat ini. Menyesali dosa yang telah lalu. Bertekad tidak melakukannya lagi di masa akan datang. Lalu jika dosa tersebut berkaitan dengan hak sesama manusia, maka ia harus menyelesaikannya/ mengembalikannya.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 14:61). Inilah yang disebut dengan taubat nashuha, taubat yang tulus dan murni. Moga Allah menerima taubat-taubat kita sebelum memasuki waktu barokah di bulan Ramadhan sehingga kita pun akan mudah melaksanakan kebaikan.
Di antara do’a untuk meminta segala ampunan dari Allah adalah do’a berikut ini:
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِى خَطِيئَتِى وَجَهْلِى وَإِسْرَافِى فِى أَمْرِى وَمَا أَنْتَ أَعْلَمُ بِهِ مِنِّى اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِى جِدِّى وَهَزْلِى وَخَطَئِى وَعَمْدِى وَكُلُّ ذَلِكَ عِنْدِى
Allahummagh-firlii khothii-atii, wa jahlii, wa isrofii fii amrii, wa maa anta a’lamu bihi minni. Allahummagh-firlii jiddi wa hazlii, wa khotho-i wa ‘amdii, wa kullu dzalika ‘indii” (Ya Allah, ampunilah kesalahanku, kejahilanku, sikapku yang melampaui batas dalam urusanku dan segala hal yang Engkau lebih mengetahui hal itu dari diriku. Ya Allah, ampunilah aku, kesalahan yang kuperbuat tatkala serius maupun saat bercanda dan ampunilah pula kesalahanku saat aku tidak sengaja maupn sengaja, ampunilah segala kesalahan yang kulakukan) (HR. Bukhari no. 6398 dan Muslim no. 2719).
Catatan penting yang mesti kami sampaikan. Mungkin selama ini tersebar sms maaf-maafkan di tengah-tengah kaum muslimin menjelang Ramadhan. Ingat bahwa meminta maaf itu memang disyariatkan  terhadap sesama apalagi ketika berbuat salah, betul memang bentuk taubatnya adalah minta dimaafkan. Namun bukan jadi kelaziman setiap orang harus minta maaf, padahal tidak ada salah apa-apa. Apalagi kelirunya lagi jika hal ini dianggap kurang afdhol jika tidak dijalani menjelang Ramadhan. Hanya Allah yang beri taufik.
Ketiga: Banyak memohon kemudahan dari Allah.
Selain dua hal di atas, kita juga harus pahami bahwa untuk mudah melakukan kebaikan di bulan Ramadhan, itu semua atas kemudahan dari Allah. Jika kita terus pasrahkan pada diri sendiri, maka ibadah akan menjadi sulit untuk dijalani. Karena diri ini sebenarnya begitu lemah. Oleh karena itu, hendaklah kita banyak bergantung dan tawakkal pada Allah dalam menjalani ibadah di bulan Ramadhan. Terus memohon do’a pada Allah agar kita mudah menjalankan berbagai bentuk ibadah baik shalat malam, ibadah puasa itu sendiri, banyak berderma, mengkhatamkan atau mengulang hafalan Qur’an dan kebaikan lainnya.
Do’a yang bisa kita panjatkan untuk memohon kemudahan dari Allah adalah sebagai berikut.
اللَّهُمَّ لاَ سَهْلَ إِلاَّ مَا جَعَلْتَهُ سَهْلاً وَأَنْتَ تَجْعَلُ الحَزْنَ إِذَا شِئْتَ سَهْلاً
Allahumma laa sahla illa maa ja’altahu sahlaa, wa anta taj’alul hazna idza syi’ta sahlaa” [artinya: Ya Allah, tidak ada kemudahan kecuali yang Engkau buat mudah. Dan engkau menjadikan kesedihan (kesulitan), jika Engkau kehendaki pasti akan menjadi mudah]. (Hadits ini dikeluarkan oleh Ibnu Hibban dalam Shahihnya 3:255. Dikeluarkan pula oleh Ibnu Abi ‘Umar, Ibnus Suni dalam ‘Amal Yaum wal Lailah).
اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ فِعْلَ الْخَيْرَاتِ وَتَرْكَ الْمُنْكَرَاتِ
Allahumma inni as-aluka fi’lal khoiroot wa tarkal munkaroot.” (Ya Allah, aku memohon pada-Mu agar mudah melakukan kebaikan dan meninggalkan kemungkaran). (HR. Tirmidzi no. 3233, shahih menurut Syaikh Al Albani).
Semoga Allah menjadikan Ramadhan kita lebih baik dari sebelumnya. Marilah kita menyambut Ramadhan mubarok dengan suka cita, diiringi ilmu, taubat dan perbanyak do’a kemudahan.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.


Sabtu, 13 Juni 2015

KONTEKS WACANA



KONTEKS WACANA
A.    PRAANGGAPAN (Presupposisi)
·      Pengertian Praanggapan :
Praanggapan (presuposisi) berasal dari kata to pre-suppose, yang dalam bahasa Inggris berarti to suppose beforehand (menduga sebelumnya), dalam arti sebelum pembicara atau penulis mengujarkan sesuatu ia sudah memiliki dugaan sebelumnya tentang kawan bicara atau hal yang dibicarakan.
Menurut George Yule (1996:43) Presupposisi adalah sesuatu yang diasumsikan oleh penutur sebagai kejadian sebelum menghasilkan suatu tuturan, yang memiliki presupposisi adalah penutur, bukan kalimat.
Menurut  Filmore (1981), dalam setiap percakapan selalu digunakan tingkatan-tingkatan komunikasi yang implisit atau praaggapan dan eksplisit dan ilokusi. Sebagai contoh, ujaran dapat dinilai tidak tidak relevan atau salah bukan hanya dilihat dari segi cara pengungkapan pistiwa yang salah pendeskripsiannya, tetapi juga pada cara membuat peranggapan yang salah.
Kesalahan membuat praanggapan mempunyai efek dalam ujaran manusia. Dengan kata lain, praanggapan yang tepat dapat memprtinggi nilai komunikatif sebuah ujaran yang diungkakan. Makin tepat praanggapan yang dihipotesiskan, makin tinggi nilai komunikasi suatu ujaran. Dalam beberapa hal, makna wacana dapat dicari melalui praaggapan, namun disisi lain terdapat makna yang tidak dinyatakan secara eksplisit.
Dari beberapa definisi praanggapan di atas dapat disimpulkan bahwa praanggapan adalah kesimpulan atau asumsi awal penutur sebelum melakukan tuturan bahwa apa yang akan disampaikan juga dipahami oleh mitra tutur. Untuk memperjelas hal ini, perhatikan contoh berikut :
(1) a:“Aku sudah membeli bukunya Pak Udin kemarin”
 b : “Dapat potongan 30 persen kan?
                        Contoh percakapan di atas menunjukkan bahwa sebelum bertutur (1A) memiliki praanggapan bahwa B mengetahui maksudnya yaitu terdapat sebuah buku yang ditulis oleh Pak Pranowo.
                        Kesalahan membuat praanggapan efek dalam ujaran manusia. Dengan kata lain, praanggapan yang tepat dapat mempertinggi nilai komunikatif sebuah ujaran yang diungkapkan. Makin tepat praanggapan yang dihpotesiskan, makin tinggi nilai komunikatif sebuah ujaran yang diungkapkan.
·      Ciri Praanggapan
Ciri praanggapan yang mendasar adalah sifat keajegan di bawah penyangkalan (Yule,   2006:45). Hal ini memiliki maksud bahwa praanggapan (presuposisi) suatu pernyataan akan tetap ajeg (tetap benar) walaupun kalimat itu dijadikan kalimat negatif atau dinegasikan. Sebagai contoh perhatikan beberapa kalimat berikut :
(1)   a:  “Gitar Budi itu baru”.
b:  “Gitar Budi tidak baru”.
Kalimat (b) merupakan bentuk negatif dari kaliamt (4a). Praanggapan dalam kalimat (4a) adalah Budi mempunyai gitar. Dalam kalimat (b), ternyata praanggapan itu tidak berubah meski kalimat (b) mengandung penyangkalan tehadap kalimat (4a), yaitu memiliki praanggapan yang sama bahwa Budi mempunyai gitar.
·      Jenis – Jenis Praanggapan
Praanggapan (presuposisi) sudah diasosiasikan dengan pemakaian sejumlah besar kata, frasa, dan struktur (Yule, 2006:46). Selanjutnya Gorge Yule mengklasifikasikan praanggapan ke dalam 6 jenis praanggapan,  yaitu presuposisi eksistensial, presuposisi faktif, presuposisi non-faktif, presuposisi leksikal, presuposisi struktural, dan presuposisi konterfaktual.
1.    Presuposisi Esistensial
Presuposisi (praanggapan) eksistensial adalah preaanggapan yang menunjukkan eksistensi/ keberadaan/ jati diri referen yang diungkapkan dengan kata yang definit.
(1) a. Orang itu berjalan
      b. Ada orang berjalan
 2.   Presuposisi Faktif
Presuposisi (praanggapan) faktif adalah praanggapan di mana informasi yang dipraanggapkan mengikuti kata kerja dapat dianggap sebagai suatu kenyataan.
(1) a. Dia tidak menyadari bahwa ia sakit
      b. Dia sakit
(2) a. Kami menyesal mengatakan kepadanya
      b. Kami mengatakan kepadanya
3.    Presuposisi Leksikal
Presuposisi (praanggapan) leksikal dipahami sebagai bentuk praanggapan di mana makna yang dinyatakan secara konvensional ditafsirkan dengan praanggapan bahwa suatu makna lain (yang tidak dinyatakan) dipahami.
(1) a. Dia berhenti merokok
      b. Dulu dia biasa merokok
(2)a. Mereka mulai mengeluh
       b. Sebelumnya mereka tidak mengeluh
4.    Presuposisi Non-faktif
Presuposisi (praanggapan) non-faktif adalah suatu praanggapan yang diasumsikan tidak benar.
(1) a. Saya membayangkan bahwa saya kaya
        b. Saya tidak kaya
(2) a. Saya membayangkan berada di Hawai
        b. Saya tidak berada di Hawai
5.    Presuposisi Struktural
Presuposisi (praanggapan) struktural mengacu pada sturktur kalimat-kalimat tertentu telah dianalisis sebagai praanggapan secara tetap dan konvensional bahwa bagian struktur itu sudah diasumsikan kebenarannya. Hal ini tampak dalam kalimat tanya, secara konvensional diinterpretasikan dengan kata tanya (kapan dan di mana) seudah diketahui sebagai masalah.
(1) a. Di mana Anda membeli sepeda itu?
      b. Anda membeli sepeda
(2) a. Kapan dia pergi?
      b. Dia pergi
6.    Presuposisi konterfaktual
Presuposisi (praanggapan) konterfaktual berarti bahwa yang di praanggapkan tidak hanya tidak benar, tetapi juga merupakan kebalikan (lawan) dari benar atau bertolak belakang dengan kenyataan.
(1) a. Seandainya
B.     IMPLIKATUR
Implikatur berasal dari bahasa latin implicare yang berarti "melipat". hal ini dijelaskan oleh Mey melalui Nadar (2009:60) bahwa untuk mengetahui apa yang dilipat harus dengan cara membukanya. dengna kata lain, implikatur dapat dikatakan sebagai sesuatu yang terlipat.
Implikatur secara sederhana dapat diartikan sebagai makna tambahan yang disampaikan oleh penutur yang terkadang tidak terdapat dalam tuturan itu sendiri. Sebuah tuturan dapat mengimplikasikan proposisi yang bukan merupakan bagian dari tuturan tersebut. Proposisi yang diimplikasikan tersebut oleh Grice disebut sebagai implikatur percakapan. Secara garis besar terdapat dua jenis implikatur. Yang pertama adalah implikatur konvensional. Implikatur ini lebih menjelaskan pada apa yang yang diutarakan. Sedangkan yang kedua telah disebut pada paragraf sebelumnya yaitu implikatur percakapan. Implikatur percakapan lebih menekankan maksud lain dari apa yang dituturkan.
Menurut George Yule (1996:62) implikatur adalah contoh utama dari banyaknya informasi yang disampaikan dari pada dikatakan. Supaya implikatur – implikatur tersebut dapat ditafsirkan maka beberapa prinsip kerja sama dasar harus lebih dini diasumsikan dalam pelaksanaannya.
Konsep implikatur kali pertama dikenalkan oleh H.P.Grice (1975) untuk memecahkan persoalan makna bahasa yang tidak dapat diselesaikan oleh teori semantik biasa. Implikatur dipakai untuk memperhitungkan apa yang disarankan atau apa yang dimaksud oleh penutur sebagai hal yang berbeda dari apa yang dinyatakan secara harfiah (Brown dan Yule, 1983:31).
C.    INFERENSI
Inferensi adalah membuat simpulan berdasarkan ungkapan dan konteks penggunaannya. Dalam membuat inferensi perlu dipertimbangkan implikatur. Implikatur adalah makna tidak langsung atau makna tersirat yang ditimbulkan oleh apa yang terkatakan (eksplikatur).
Menurut Gumperz (1982) Inferensi yaitu penarikan kesimpulan sebagai proses interpretasi yang ditentukan oleh situasi dan konteks percakapan. dengan demikian pendengar menduga kemauan penutur, dan dengan itu pula pendengar meresponsnya. Dengan begitu inferensi percakapan tidak hanya ditentukan oleh kata-kata pendukung ujaran itu saja, melainkan juga didukung oleh konteks dan situasi. Sebuah gagasan yang terdapat dalam otak penutur direlisasikan dalam bentuk kalimat-kalimat. Jika penutur tidak pandai dalam menyusun kalimat maka akan terjadi kesalahpahaman. 

D.    DIEKSIS
Dalam penggunaannya, kata yang bersifat deiktis adalah kata yang referen atau acuannya dapat berpindah-pindah. Kefleksibelan kata-kata atau leksem-leksem deiktis acapkali berpengaruh pada makna kata dan maksud penutur. Hal ini merupakan fenomena-fenomena tindak tutur yang bukan pada tempatnya kata-kata itu digunakan.
Menurut George Yule (1996:13) dieksis adalah istilah teknis (dari bahasa Yunani) untuk salah satu hal mendasar yang kita lakukan dengan tuturan. Dieksis berarti “penunjukan” melalui bahasa. Bentuk linguistik yang dipakai untuk menyelesaikan “penunjukan” disebut ungkapan dieksis. Ketika anda menunjuk objek asing dan bertanya “Apa itu?”, maka anda menggunakan ungkapan dieksis (“itu”) untuk menunjuk suatu dalam konteks secara tiba – tiba. Ungkapan – umgkapan dieksis kadang kala juga disebut dengan indeksial.


BAB III
PEMBAHASAN
Untuk lebih memahami tentang Praanggapan, Implikatur, Inferensi dan Dieksis. Berikut dibawah ini contoh dari Praanggapan, Implikatur, Inferensi dan Dieksis.
A.Praanggapan
     (1) Saudara laki – laki Mary membeli 3 ekor kuda
       Ketika menghasilkan tuturan dalam (1), penutur tentunya diharapkan memiliki praanggapan bahwa seseorang yang bernama Mary dan dia memiliki seorang saudara laki – laki. Penutur mungkin juga menyimpan presupposisi yang lebih khusus bahwa mary hanya memiliki seorang saudara laki – laki dan dia memiliki banyak uang. Sebenarnya semua presupposisi ini menjadi milik penutur dan semua praanggapan itu boleh jadi salah. Dalam kalimat (1) akan dianggap memiliki entailmen jika saudara laki – laki Mary membeli sesuatu, membeli 3 ekor binatang, membeli 2 ekor kuda dan akibat – akibat logis lainyang sama.

(2) Ibu saya datang dari Surabaya
Dalam contoh (2) praanggapan adalah: (1) saya mempunyai ibu, (2) Ibu saya ada di Surabaya. Oleh krena itu, fungsi praanggapan ialah membantu mengurangi hambatan respon orang terhadap penafsiran suatu ujaran.

B. Implikatur
(1) Dia orang Jawa karena itu dia rajin.
     Pada contoh (1) tersebut, penutur tidak secara langsung menyatakan bahwa suatu ciri (rajin) disebabkan oleh ciri lain (jadi orang Jawa), tetapi bentuk ungkapan yang dipakai secara konvensional berimplikasi bahwa hubungan seperti itu ada. Kalau individu yang dimaksud itu orang Jawa dan tidak rajin, implikaturnya yang keliru, tetapi ujarannya tida salah. Contoh lain kata pria, kata’ pria’ tentu mengimplikasikan mempunyai rambut, hidung, atau bibir sehingga hunbungan antarkalimat pada contoh dibawah ini bersifat koheren, meskipun tanpa kalimat Pria itu mempunyi rambut, hidung, dan bibir.

(2) Dia orang Madura, oleh karena itu dia pemberani.
Dalam kalimat (2) penutur tidak secara langsung menyatakan bahwa suatu ciri pemberani adalah ciri lain dari orang Madura, bentuk ungkapan yang dipakai itu secara konvensional berimplikasi bahwa hubungan seperti itu ada. Jika orang Madura adalah bukan pemberani, maka implikaturnya yang keliru, tetapi ujarannya tidak salah.
Yang lebih menarik bagi analisis wacana adalah konsep implikatur percakapan yang diturunkan dari asas umum percakapan ditambah sejumlah bidal (maxims) yang biasanya dipatuhi para penitur (Brown da Yule, 1983). Implikatur percakapan itu mengutip prinsip kerja sama atau kesepakatan bersama, yakni kesepakatan bahwa hal yang dibicarakan oleh partisipan harus saling terkait (Grice, 1975).

C. Inferensi
(1) Contoh:
Ada dua orang teman berjumpa dan perjumpaan itu diceritakan oleh salah satunya kekawan lainnya. Terjadilah percakapan berikut,
Yulia               : “Saya baru bertemu dengan si Ana.”
Halimah           :  “Oh, si Ana kawan kita di SMA itu?”
Yulia               :  “Bukan, tapi Ana kawan kita waktu kuliah dulu.”
Halimah           :  “Ana yang berambut panjang itu?”
Yulia               :  “Bukan Ana yang berambut panjang, tapi Ana yang berjilbab itu loh?”
Halimah           :  “Oh, ya, saya tahu.”

Pada ujaran pertama Halimah salah tangkap. Yang tergambar dibenaknya adalah si Ana teman SMA. Setelah diterangkan oleh Yulia bahwa Ana teman waktu kuliah, Halimah salah tangkap lagi, karea yang diduga adalah Ana yang berambut panjang. Sesudah kalimat ke tiga dari Yulia, barulah Halimah paham siapa si Ana sebenarnya.
Walaupun tanggapan tentang si Ana sudah jelas, akan tetapi apa yang dipikirkan oleh Yulia tidaklah dapat ditanggapi seluruhnya oleh Halimah karena masih banyak hal yang masih  tersembunyi, misalnya kapan Yulia bertemunya, di mana betemunya, berapa jam, dapat dikatakan bahwa yang ditanggapi pendengar dari ucapan penutur itu hanya beberapa bagian saja dan tidak seluruhnya.



D. Dieksis
(1) Saya akan meletakkan ini di sini
      (Tentu saja, Anda paham bahwa jim berkata kepada Anne bahwa ia akan meletakkan kunci duplikat rumah di dalam salah satu laci di dapur).
      Jelas sekali bahwa diekasis mengacu pada bentuk yang terikat dengan konteks penutur, yang dibedakan secara mendasar anatara ungkapan – ungkapan dieksis “dekat penutur” dan “jauh dari penutur”. Dalam bahasa inggris “dekat penutur” atau istilah – istilah proksimal adalah “ini”, “di sini”, “sekarang”, sedangkan “jauh dari penutur” atau istilah distal adalah “itu”, “di sana”, “pada saat itu”. Istilah – istilah proksimal biasanya ditafsirkan sebagai istilah tempat pembicara atau pusat deiksis, sehingga “sekarang” umumnya dipakai sebagai acuan terhadap titik atau keadaan pada saat tuturan penutur terjadi di tempatnya. Sementara itu istilah distal menunjukkan “jauh dari penutur” tetapi dalam bebrapa bahasa dapat digunakan untuk membedakan antara “dekat lawan tutur” dan “jauh dari penutur maupun lawan tutur”.