A. Hakikat Kohesi dan
Koherensi
Kohesi
dan koherensi tidak dapat terpisahkan satu dengan yang lainnya. Dua istilah ini
merupakan satu kesatuan yang selalu melekat. Sebuah teks terutama teks tulis
memerlukan unsur pembentuk teks. Kohesi merupakan salah satu unsur pembentuk
teks yang penting. Menurut Mulyana (2005: 26) menyatakan bahwa kohesi dalam
wacana diartikan sebagai kepaduan bentuk yang secara struktural membentuk
ikatan sintaktikal. Sejalan dengan hal tersebut Anton M. Moeliono (dalam
Mulyana, 2005: 26) menyatakan bahwa wacana yang baik dan utuh menayaratkan
kalimat-kalimat yang kohesif. Kohesi wacana terbagi di dalam dua aspek, yaitu
kohesi gramatika dan kohesi leksikal. Kohesi gramatikal antara lain adalah
referensi, subtitusi, ellipsis, konjungsi, sedangkan yang termasuk kohesi
leksikal adalah sinonimi, repetisi, kolokasi.
Sejalan dengan pendapat di atas Yayat Sudaryat (2008: 151) menyatakan bahwa
kohesi merupakan aspek formal bahasa dalam organisasi sintaksis, wadah kalimat-kalimat
disusun secara padu dan padat untuk menghasilkan tuturan. Sedangkan Abdul Rani,
Bustanul arifin, Martutik (2006: 88) menyatakan bahwa kohesi adalah hubungan
antarbagian dalam teks yang ditandai oleh penggunaan unsure bahasa. Gutwinsky
(dalam Yayat Sudaryat, 2008: 151) menyatakan bahwa kohesi mengacu pada hubungan
antarkalimat dalam wacana, baik dalam tataran gramatikal maupun tataran
leksikal. Agar wacana itu kohesif, pemakai bahasa dituntut untuk mengetahui
pemahaman tentang kaidah bahasa, realitas, penalaran (simpulan sintaksis). Oleh
karena itu, wacana dikatakan kohesif apabila terdapat kesesuaian bentuk bahasa
baik dengan ko-teks (situasi dalam bahasa) maupun konteks (situasi luar
bahasa). Konsep kohesi pada dasarnya mengacu pada hubungan bentuk. Artinya,
unsur-unsur wacana (kata atau kalimat) yang digunakan untuk menyusun suatu
wacana memiliki keterkaitan secara padu dan utuh. Menurut H. G. Tarigan (dalam
Mulyana, 2005: 26) mengemukakan bahwa penelitian mengenai kohesi menjadi bagian
dari kajian aspek formal bahasa. Oleh karena itu, organisasi dan struktur
kewacanaanya juga berkonsentrasi dan bersifat sintaktik gramatikal.
Brown dan Yule (dalam Abdul Rani, dkk, 2006: 87) menyatakan bahwa unsur
pembentuk teks itulah yang membedakan sebuah rangkaian kalimat itu sebagai
sebuah teks atau bukan teks. Hal tersebut juga diperkuat lagi dengan pendapat
Anton M. Moeliono ( dalam Sumarlam, dkk, 2009: 173) bahwa kohesi merupakan
hubungan semantik atau hubungan makna antara unsur-unsur di dalm teks dan
unsur-unsur lain yang penting untuk menafsirkan atau menginterpretasikan teks;
pertautan logis antarkejadian atau makna-makna di dalamnya; keserasian hubungan
antara unsur yang satu dengan unsur yang lain dalam wacana sehingga terciptalah
pengertian yang apik. Maka untuk memperoleh wacana yang baik dan utuh
diharapkan kalimat-kalimatnya harus utuh. Hanya dengan hubungan kohesif seperti
itulah suatu unsur dalam suatu wacana dapat diinterpretasikan, sesuai dengan
ketergantungan unsur-unsur lainnya. Hubungan kohesif dalam wacana sering
ditandai oleh kehadiran penanda khusus yang bersifat lingual formal.
Kohesi dapat dibedakan atas beberapa jenis. Pembedaan tesebut dapat di jabarkan
dalam kohesi gramatikal dan kohesi leksikal. Kohesi gramatikal dan leksikal ini
merupakan bagian dari kohesi endosentris. Karena kohesi dibagi menjadi dua ada
kohesi endosentrsi dan kohesi eksosentris. Kohesi gramatikal terdiri dari:
referensi, subtitusi, ellipsis, paralelisme, dan konjungsi. Sedangkan konjungsi
leksikal terdiri dari: sinonimi, antonimi, hiponimi, kolokasi, repetisi dan
ekuivalensi.
Untuk membentuk wacana yang baik dan padu tidak cukup hanya mengandalkan
hubungan kohesi. Menurut Cook (dalam Adul Rani, dkk, 2006: 872) menyatakan
bahwa penggunaan alat kohesi itu memang penting untuk membentuk wacana yang
utuh, tetapi tidak cukup meggunakan penanda katon tersebut. Ada faktor lain
seperti relevansi dan faktor tekstual luar (extratextual factor) yang
ikut menentukan keutuhan wacana. Kesesuaian antara teks dan dunia nyata dapat
membantu menciptakan suatu kondisi untuk membantuk wacana yang utuh. Faktor
lain seperti pengetahuan budaya yang juga membantu dalam menciptakan koherensi
teks. Agar wacana yang kohesif baik, maka perlu dilengkapi dengan koherensi.
Menurut Abdul Rani, dkk (2006:89) yang dimaksud koherensi adalah kepaduan
hubungan maknawi antara bagian-bagian dalam wacana.
Mulyana (2005: 30) di dalam bukunya yang berjudul “Kajian Wacana” banyak
mengutip pendapat-pendapat ahli berkaitan dengan koherensi. Adapun pendapat
tersebut adalah sebagai berikut, menurut H. G. Tarigan (1987) istilah koherensi
mengandung makna pertalian, dalam konesp kewacanaan berarti pertalian makna
atau isi kalimat. Gorys Keraf (1984) menyatakan bahwa koherensi juga berarti
hubungan timbal balik yang serasi antarunsur dalam kalimat. Sejalan dengan
pendapat tersebut Wahjudi (1989) berpendapat bahwa hubungan koherensi
keterkaitan antara bagian yang satu dengan bagian yang lainnya, sehingga
kalimat memiliki kesatuan makna yang utuh. Sedangkan Samiati (1989) berpendapat
bahwa wacana yang koheren memiliki cirri-ciri: susunanya teratur dan amanatnya
terjalin rapi, sehingga muda diintepretasikan. Pendapat-pendapat tersebut
diperkuat oleh pendapat Brown dan Yule (dalam Mulyana, 2006: 30) yang
menegaskan bahwa berarti keterpaduan dan keterpahaman antarsatuan dalam suatu
teks atau tuturan.
Dalam sebuah wacana aspek koherensi sangat diperlukan keberadaannya untuk
menjaga pertalian batin antara proposisi yang satu dengan lainnya untuk
mendapatkan keutuhan. Keutuhan yang koheren tersebut dijabarkan oleh adanya
hubungan-hubungan makana yang terjadi antarunsur (bagian) secara semantik.
Hubungan tersebut kadang terjadi melalui alat bantu kohesi, namun kadang-kadang
terjadi tanpa bantuan alat kohesi. Secara keseluruhan hubungan makna yang
bersifat koheren menjadi bagian dari organisasi semantis.
Halliday dan Hasan (dalam Mulyana, 2005: 31) menegaskan bahwa struktur wacana
pada dasarnya bukanlah struktur sintaktik, melainkan struktur semantic, yakni
semantic kalimat yang di dalamnya mengandung proposisi-proposisi. Sebab
beberapa kalimat hanya akan menjadi wacana sepanjang ada hubungan makna (arti)
di antara kalimat-kalimat itu sendiri. Keberadaan unsure koherensi sebetulnya
tidak hanya pada satuan teks semata (scara formal), malainkan pada kemampuan
pembaca atau pendengar dlam menghubungkan dan menginterpretasikan suatu bentuk
wacana yang diterimanya. Maka dari pendapat tersebut diperkuat dan disimpulkan
oleh Mulyana (2005:31) hubungan koherensi adalah sutau rangkaian fakta dan
gagasan yang teratur yang tersusun secara logis. Koherensi dapat terjadi secara
implisit (terselubung) karena berkaitan dengan bidang makna yang memerlukan
interpretasi. Pendapat tersebut juga diyakini oleh Yayat Sudaryat (2008: 152)
koherensi adalah kekompakan hubungan antar kalimat dalam wAcana. Meskipun
begitu, interpretasi wacana berdasarkan struktur sintaksis dan leksikal bukan
satu-satunya cara. Maka koherensi merupakan bagian dari suatu wacana, sebagai
organisasi semantic, wadah gagasan yang disusun dalam urutan yang logis untuk
mencapai maksud dan tuturan yang tepat.
Pengertian Wacana
a.
Istilah
“wacana” berasal dari bahasa
Sansekerta wac/ wak/ vak, artinya
berkata, berucap ( Douglas, 1967:266). Bila dilihat dari jenisnya, kata wac
dalam morfologi bahasa Sansekerta, termasuk kata kerja golongan III
parasmaepada (m) yang bersifat aktif, yaitu ‘melakukan tindakan ujar’. Kata
tersebut kemudian mengalami perubahan menjadi wacana. Bentuk ana yang muncul di
belakang adalah sufiks ( akhiran). yang bermakna membedakan ( nominalisasi).
Jadi, kata wacana dapat diartikan sebagai perkataan atau tuturan.
b.
Menurut
Anton M. Moelino ( 1998:334) mengatakan bahwa wacana adalah rentetan kalimat
yang berkaitan, yang menghubungkan proposisi yang satu dengan yang lainnya
dalam kesatuan makna.
c.
Menurut
Harimurti Kridalaksana mengatakan bahwa wacana
berarti satuan bahasa terlengkap, yang dalam hirarki kebahasaan
merupakan satuan gramatikal tertinggi, dan terbesar. Wacana juga dapat
direalisasikan dalam bentuk kata, kalimat, paragraph, atau karangan utuh (
buku) yang membawa amanat lengkap.
d.
Menurut
Henry Guntur Tarigan, wacana adalah satuan bahasa ynag paling lengkap, lebih
tinggi dari klausa dan kalimat, memiliki kohesi dan koherensi yang baik,
mempunyai awal dan akhir yang jelas berkesinambungan, dan dapat disampaikan
secara tertulis maupun lisan.
e.
Menurut
Samsuri mengemukakan bahwa wacana ialah rekaman kalimat yang berkaitan sehingga
terbentuklah makna yang serasi diantara kalimat itu.
f.
Menurut
Eko Wardono, wacana adalah satuan tuturan yang mempunyai satu pokok gagasan (
topic).
g.
Menurut
Soeseno Kartomiharjo, wacana adalah cabang ilmu yang dikembangkan untuk
menganalisis suatu unit bahasa yang leih besar daripada kalimat. Unit yang
dimaksud dapat berupa paragraph, teks bacaan, undangan, percakapan.
h.
Menurut
Tim Penyusun KBBI, wacana berarti kelas kata benda ( nominal) yang mempunyai
arti sebagai berikut: 1. ucapan, perkataan, tuturan 2. keseluruan tutur yang
merupakan suatu kesatuan 3. satuan bahasa terlengkap.
i.
Yayat
Sudarjat mengatakan bahwa wacana merupakan satuan bahasa terlengkap dari
rentetan kaliamat yang kontinuitas, kohesif, dan koheren.
2)
Kohesi
Kohesi
dalam wacana diartikan sebagai kepaduan bentuk secara structural membentuk
ikatan sintaktikal. Anton M. Moelino ( 1988:34)
menyatakan bahwa wacana yang baik dan utuh mensyaratkan kalimat-kalimat
yang kohesif. Konsep kohesif sebenarnya mengacu kepada hubungan bentuk. Artinya
unsur-unsur wacana (kata atau kalimat) yang digunakan untuk menyusun suatu
wacana memiliki keterkaitan secara padu dan utuh. Menurut Anton M. Moelino, dkk
( 1987:96) untuk memperoleh wacana yang baik dan utuh, maka kalimat-kalimatnya
harus kohesif. Hanya dengan hubungan kohesif seperti itulah suatu unsur dalam
wacana dapat di interpretasikan, sesuai dengan ketergantungannya dengan
unsure-unsur lainnya. Kohesi wacana terbagi dalam dua aspek yaitu kohesi gramatikal
dan kohesi leksikal.
Kohesi gramatikal
artinya kepaduan bentuk sesuai dengan tata bahasa. Kohesi leksikal artinya
kepaduan bentuk sesuai dengan kata.
Kohesi gramatikal
meliputi:
A. Referensi (pengacuan)
Referensi merupakan
pengacuan satuan lingual tertentu terhadap satuan lainnya. Di lihat dari
acuannya, referensi terbagi atas:
1.
Referensi
eksofora yaitu pengacuan satuan lingual yang berada di luar teks wacana.
Contoh: Itu matahari, kata itu pada tuturan tersebut mengacu pada sesuatu di
luar teks, yaitu “benda berpijar yang menerangi alam ini”.
2.
Referensi
endofora yaitu pengacuan satuan lingual yang berada di dalam teks wacana.
Referensi endofora
terbagi atas:
a.
Referensi
anaphora yaitu pengacuan satual lingual yang disebutkan terlebih dahulu,
mengacu yang sebelah kiri.
Contoh: Peringatan
HUT ke-66 Indonesia ini akan di ramaikan dengan pagelaran pesta kembang api.
b.
Referensi
katafora yaitu pengacuan satuan lingual yang disebutkan setelahnya, mengacu
yang sebelah kanan.
Contoh: Kamu harus
pergi! Ayo, cici cepatlah!
Di lihat dari
klasifikasinya, referensi terbagi atas:
1.
Referensi
persona yaitu pengacuan satual lingual berupa pronomina atau kata ganti orang.
|
Tunggal
|
Jamak
|
|
|
Persona pertama
|
Aku, saya
|
Kami, kita
|
|
Persona kedua
|
Kamu, engkau, anda
|
Kalian, kami
sekalian
|
|
Persona ketiga
|
Dia, ia, beliau
|
Mereka
|
Contoh: Firdaus, kamu harus mandi.
2.
Referensi
demonstrasi yaitu pengacuan satual lingual yang dipakai untuk menunjuk.
Biasanya menggunakan kata : kini, sekarang, saat ini, di sini, di situ, ini,
itu, dan sebagainya.
Contoh: Pohon-pohon
kelapa itu, tumbuh di tanah lereng
diantara pepohonan lain yang rapat dan rimbun.
3.
Referensi
interogatif yaitu pengacuan satuan lingual berupa kata tanya.
contoh: Kamu mau kemana?
4.
Referensi
komparatif yaitu pengacuan satual lingual yang dipakai untuk membandingkan
satual lingual lain.
contoh: Tidak berbeda jauh dengan ibunya, Nita
orangnya cantik, ramah, dan lemah lembut.
B.
Substitusi ( penggantian)
Substitusi
diartikan sebagai penggantian satuan lingual dengan satuan lingual lain dalam
wacana untuk memperoleh unsur pembeda.
Substitusi dilihat dari satuan lingualnya dapat dibedakan atas:
1.
Substitusi
nominal yaitu penggantian satuan lingual dengan satuan lingual lain yang berupa
kata benda.
Contoh: Memang Soni
mencintai gadis itu. Wanita itu berasal dari Surakarta. Pacarnya itu memang cantik, halus budi
bahasanya, dan bersifat keibuan.
2.
Substitusi
verbal yaitu penggantian satuan lingual dengan satuan lingual lain yang berupa
kata kerja.
Contoh: Soni berusaha
menyembuhkan penyakitnya dengan berobat ke dokter kemarin sore. Ternyata dia di
vonis menderita penyakit kanker. Selain berusaha
ke dokter, dia juga tidak lupa berdoa dan selalu berikhtiar pada allah.
3.
Substitusi
frasa yaitu penggantisn satuan lingual tertentu dengan satuan lingual lain yang
berupa frasa.
Contoh: Hari ini hari minggu. Mumpung hari libur aku manfaatkan saja untuk
menengok Nenek di desa.
4.
Substitusi
klausal yaitu penggantian satuan lingual tertentu dengan satuan lingual lain
yang berupa klausa.
Contoh:
Nida : jika perubahan yang dialami oleh azam
tidak bisa diterima dengan baik oleh orang-orang di sekitarnya, mungkin hal itu
dikarenakan oleh kenyataan bahwa orang –orang tesebut banyak yang tidak sukses
seperti azam.
Barik : tampaknya
memang begitu!
C. Elipsis atau pelesapan
Elipsis adalah
pelesapan satuan lingual tertentu yang sudah disebutkan sebelumnya. Adapun
fungsi dari elipsis yaitu:
1.
Untuk
efektifitas kalimat
2.
Untuk
mencapai nilai ekkonomis dalam pemakaian bahasa
3.
Untuk
mencapai aspek kepaduan wacana
4.
Untuk
mengaktifkan pikiran pendengar atau pembaca terhadap sesuatu yang di ungkapkan
dalam satuan kata.
Contoh: Tuhan selalu
memberikan kekuatan, ketenangan, ketika saya menghadapi saat-saat yang
menentuksn dalam penyusunan skripsi ini. Terima kasih.
Kalimat kedua yang
berbunyi terima kasih merupakan elipsis. Unsur yang hilang adalah subjek dan
predikat. Kalimat tersebut selengkapnya berbunyi: Tuhan selalu memberikan
kekuatan, ketenangan, ketika saya menghadapi saat-saat yang menentukan dalam
penyusunan skripsi ini. Saya mengucapkan
terima kasih.
Kakak: Kapan adik
datang?
Adik : tadi siang.
Pernyataan adik
tersebut merupakan pelesapan subjek dan predikat. Kalimat tersebut selengkapnya
berbunyi: Saya datang tadi siang.
D. Konjungsi (perangkaian)
Konjungsi adalah
kohesi gramatikal yang dilakukan dengan menghubungkan unsure yang satu dengan
unsure yang lain. Unsur yang dirangkai berupa kata, frasa, klausa, dan
paragraf.
Macam-macam konjungsi
sebagai berikut:
1.
Sebab-akibat
Hubungan sebab-akibat
terjadi apabila salah satu proposisi menunjukkan penyebab terjadinya suatu
kondisi tertentu yang merupakan akibat atau sebaliknya. Konjungsi yang
digunakan antara lain: karena, sebab, makanya, sehingga, oleh karena itu,
dengan demikian dan sebagainya.
Contoh: Adik sakit sehingga tidak masuk sekolah.
2.
Pertentangan
Hubungan pertentangan
terjadi apabila ada dua ide atau proposisi yang menunjukkan kebalikan atau
kekontrasan. Konjungsi yang digunakan yaitu tetapi dan namun.
Contoh: Nyamuk
berseliweran, pengemis, pelacur, pencoleng, dan gelandangan berkeliaran. Namun, di kampung kumuh tersebut sedang
dibangun sekolah mewah.
3.
Kelebihan
atau eksesif
Hubungan eksesif
digunakan untuk menyatakan kelebihan, ditandai dengan konjungsi malah.
Contoh: Karena tadi
malam kurang istirahat, dia tertidur di dalam kelas. Malah tugasnya belum dikerjakan pula.
4.
Perkecualian
atau eksepsif
Hubungan eksepsif
digunakan untuk menyatakan pengecualian, ditandai dengan konjungsi kecuali.
Contoh: Anda tidak
boleh mengkonsumsi obat tersebut kecuali
dengan persetujuan dokter.
5.
Tujuan
Hubungan tujuan
terjadi sebagai pewujudan untuk menyatakan tujuan yang ingin dicapai. Konjungsi
yang digunakan yaitu: agar dan sehingga.
Contoh: Agar naik kelas, kamu harus rajin
belajar.
6.
Penambahan
atau aditif
Penambahan berguna
untuk menghubungkan bagian yang bersifat menambahkan informasi dan pada umumnya
digunakan untuk merangkaikan dua proposisi atau lebih. Konjungsi yang digunakan
yaitu: dan, juga, serta, selain itu.
Contoh: Tingkah
lakunya menawan. Tutur katanya sopan. Murah senyum, jarang marah, dan tidak
pernah berbohong. Juga tidak mau
mempercakapkan orang lain. Selain itu,
ia suka menolong sesama teman. Dan
dia penyabar.
7.
Pilihan
atau alternatif
Pilihan digunakan
menyatakan pilihan antara dua hal. Konjungsi yang digunakan yaitu atau dan apa.
Contoh: Pelajaran apa
yang lebih kamu suka IPA atau IPS?
8.
Harapan
atau optatif
Konjungsi harapan
digunakan untuk menyatakan harapan yang ingin dicapai. Konjungsi yang digunakan
yaitu semoga, moga-moga.
Contoh: Semoga, dia lulus dengan nilai terbaik.
9.
Urutan
atau sekuential
Merupakan proposisi
yang menunjukkan suatu hubungan kesejajaran atau urutan waktu. Konjungsi yang
digunakan yaitu setelah itu, lalu, kemudian, terus, mula-mula.
Contoh: Intan bangun
tidur pukul 05.00, kemudian ambil
air wudlu. Setelah itu dia menunaikan
sholat subuh dengan khusyuk. Lalu
tak lupa ia mengaji
10. Syarat
Merupakan proposisi
yang menunjukkan suatu hubungan syarat. Konjungsi yang digunakan yaitu: apabila
dan jika.
Contoh: Jika bulan ini aku bisa bekerja lebih
giat maka gajiku akan bertambah.
11. Cara
Merupakan proposisi
yang menunjukkan suatu hubungan cara.
Konjungsi yang
digunakan yaitu: dengan cara.
Contoh: Mungkin dengan cara seperti ini, aku membantu
beban keluarga.
Yang selanjutnya adalah kohesi leksikal. Kohesi leksikal yaitu perpaduan
bentuk dalam struktur kata. Kohesi
leksikal meliputi:
A. Pengulangan atau repetisi
Repetisi merupakan salah satu cara untuk mempertahankan hubungan konsesif
antar kalimat. Hubungan ini dibentuk dengan mengulang satuan lingual.
Contoh: Berfilsafat didorong untuk mengetahui apa yang telah kita
tahu dan apa yang belum kita tahu. Berfilsafat berarti berendah hati
bahwa tidak semuanya akan pernah kita ketahui dalam kesemestaan yang seakan
tidak terbatas ini.
B. Sinonimi
Sinonimi merupakan persamaan makna kata.
Contoh: Hari pahlawan diperingati tiap 10 November. Mereka adalah pejuang
bangsa yang rela mengorbankan jiwa raga demi kesatuan Negara Republik
Indonesia. Jasa mereka selalu dikenang sepanjang masa.
C. Antonim
Antonim merupakan perlawanan kata.
Contoh:
Dalam rangka menyambut peringatan kemerdekaan Republic Indonesia, warga
setempat mengadakan kerja bakti. Bagi yang putri sebagian
besar membawa sapu, sedangkan yang putra membawa sabit. Tak ketinggalan
pula nenek maupun kakek ikut serta meramaikan peringatan
tersebut.
D. Hiponim
Hiponim merupakan sebuah pernyataan yang berpola umum-khusus
Contoh: Setiap hari Anita menyiram bunga di taman. Bermacam-macam
bunga diantaranya mawar, melati, dahlia, dan anggrek.
E. Kolokasi
Kolokasi merupakan sebuah pernyataan yang berpola khusus-umum.
Contoh: Bermula dari goresan bolpoin pada selembar kertas namanya
sekarang tenar. Dari lembaran-lembaran kertas tersebut di gabung dalam
satu buku. Buku tersebut menjadi perbincangan banyak orang karena banyak
dimuat dalam majalah, koran, televisi. Berkat media massa,
namanya menjadi terkenal.
F. Ekuivalensi
Ekuivalensi merupakan kesejajaran dalam sebuah kalimat.
Contoh: Setiap hari aku belajar dengan rajin. Bu Narti sebagai
guruku selain mengajarkan mata pelajaran
Pendidikan Kewarganegaraan, beliau juga mengajarkan pendidikan moral.
Pada kondisi tertentu, unsure-unsur kohesi menjadi contributor penting
bagi terbentuknya wacana yang koheren ( Halliday dan Hassan, 1976; Gunawan Budi
Santosa, 1998:28). Namun demikian pelu disadari bahwa unsur-unsur kohesi
tersebut tidak selalu menjamin terbentuknya wacana yang uth dan koheren.
Alasannya, pemakaian alat-alat kohesif dalam suatu teks tidak langsung
menghasilkan wacana yang koheren ( Anton M. Moeliono, dkk, 1988: 322). Dengan
kata lain, srtuktur wacana yang baik dan utuh harus memiliki syarat-syatar
kohesi sekaligus koherensi.
3) Koherensi
Koherensi adalah pengaturan secara rapi kenyataan dan gagasan, fakta
dan ide menjadi suatu untaian yang logis sehingga mudah memahami pesan yang
dikandungnya (Wohl, 1978 : 25). Koherensi
merupakan keterkaitan antara bagian yang satu dengan bagian yang lainnya
sehingga kalimat tersebut mempunyai kesatuan makna yang utuh.
Yang termasuk
unsur-unsur koherensi meliputi:
1.
Penambahan
Sarana penghubung yang berupa penambahan itu antara lain:
dan, juga, lagi pula, selanjutnya, seperti tertera pada contoh berikut:
Laki-laki dan
perempuan, tua dan muda, juga para tamu turut bekerja bergotong-royong
menumpas hama tikus di sawah-sawah di desa kami. Selain daripada menyelamatkan
tanaman, juga upaya itu akan meningkatkan
hasil panen. Selanjutnya upaya itu akan meningkatkan pendapatan masyarakat. Lagi pula upaya ini telah lama dianjurkan oleh
pemerintah kita.
2.
Repetisi
Penggunaan repetisi atau pengulangan kata sebagai sarana
koherensi wacana, terlihat pada contoh di bawah ini.
Dia mengatakan kepada saya bahwa kasih sayang itu berada
dalam jiwa dan raga sang ibu. Saya
menerima kebenaran ucapan itu. Betapa tidak. Kasih sayang pertama saya peroleh
dari ibu saya. Ibu melahirkan saya. Ibu mengasuh saya. Ibu
menyusui saya. Ibu memandikan saya. Ibu menyuapi saya. Ibu
meninabobokan saya. Ibu mencintai dan
mengasihi saya. Saya tidak bisa melupakan jasa dan kasih sayang ibu saya seumur hidup. Semoga ibu panjang umur dan dilindungi Tuhan.
3.
Pronomina
Sarana penghubung yang berupa kata ganti orang, terlihat
pada contoh berikut ini:
Rumah Lani dan rumah Mina di seberang sana. Mereka bertetangga. Lani membeli rumah itu dengan harga lima
juta rupiah. Harganya agak murah. Dia memang bernasib baik.
4.
Sinonimi
Pada contoh berikut ini terlihat penggunaan sarana koherensi
wacana yang berupa sinonimi atau padanan kata (pengulangan makna).
Memang dia mencintai gadis
itu. Wanita itu berasal dari Solo. Pacarnya itu memang cantik, halus budi bahasa, dan
bersifat keibuan sejati. Tak salah dia memilih kekasih,
buah hati yang pantas kelak dijadikan istri,
teman hidup selama hayat dikandung badan.
5.
Totalitas
Bagian
Kadang-kadang, pembicaraan kita mulai dari keseluruhan, baru
kemudian kita beralih atau memperkenalkan bagian-bagiannya. Penggunaan sarana
koherensif seperti yang dimaksudkan, terlihat pada contoh berikut ini.
Totalitas bagian bisa diartikan pernyataan yang berpola umum-khusus.
Saya membeli buku baru. Buku itu terdiri dari tujuh bab. Setiap bab terdiri pula dari sejumlah pasal. Setiap pasal tersusun dari
beberapa paragraf. Seterusnya setiap paragraf
terdiri dari beberapa kalimat. Selanjutnya kalimat terdiri atas beberapa kata.
Semua itu harus dipahami dari sudut pengajaran wacana.
6.
Komparasi
Komparasi atau perbandingan pun dapat menambah serta
meningkatkan kekoherensifan wacana. Komparasi digunakan untuk membandingkan dua
hal yang berbeda, seperti dalam contoh berikut ini.
Sama halnya dengan Paman Lukas, kita pun harus segera mendirikan rumah di
atas tanah yang baru kita beli itu. Sekarang rumah Paman Lukas itu hampir
selesai. Mengapa kita tidak membuat hal yang serupa
selekas mungkin? Kita juga sanggup berbuat hal yang
sama, takkan lebih dari itu. Tetapi, tidak
seperti rumah Paman Lukas yang bertingkat, kita akan membangun rumah
yang besar dan luas. Kita tidak perlu mendirikan rumah bertingkat karena tanah
kita cukup luas.
7.
Penekanan
Dengan sarana penekanan pun kita dapat pula menambah tingkat
kekoherensifan wacana. Penekanan digunakan untuk menekankan yang dianggap
penting, seperti terlihat pada contoh berikut ini.
Bekerja bergotong-royong itu bukan pekerjaan sia-sia. Nyatalah kini hasilnya. Jembatan sepanjang tujuh
kilometer yang menghubungkan kampung kita ini dengan kampung di seberang ini
telah selesai kita kerjakan. Jelaslah
hubungan antara kedua kampung, berjalan lebih lancar. Sudah tentu hal ini memberi dampak positif bagi
masyarakat kedua kampung.
8.
Kontras
Juga dengan kontras atau pertentangan para penulis dapat
menambah kekoherensifan karyanya. Contoh penggunaan sarana seperti ini terlihat
pada berikut ini.
Aneh tapi nyata. Ada teman saya seangkatan, namanya Joni.
Dia rajin sekali belajar, tetapi setiap
ujian selalu tidak lulus. Namun demikian, dia tidak pernah putus asa. Dia tenang saja. Tidak
pernah mengeluh. Bahkan sebaliknya, dia
semakin rajin belajar.
9.
Simpulan
Dengan kata-kata yang mengacu kepada hasil atau simpulan
pun, kita dapat juga meningkatkan kekoherensifan wacana. Penggunaan sarana
seperti itu dapat dilihat pada contoh berikut ini.
Pepohonan telah menghijau di setiap pekarangan rumah dan
ruangan kuliah di kampus kami. Burung-burung beterbangan dari dahan ke dahan
sambil bernyanyi-nyanyi. Udara segar dan sejuk nyaman. Jadi penghijauan di kampus itu telah berhasil. Demikianlah kini keadaan kampus kami, berbeda
dengan beberapa tahun yang lalu. Oleh karena itu,
para sivitas akademika merasa bangga atas kampus itu.
10. Contoh
Dengan pemberian contoh yang tepat dan serasi, kita dapat
pula menciptakan kekoherensifan wacana, seperti terlihat pada contoh berikut
ini.
Halaman rumah kami telah berubah menjadi warung hidup. Di
pekarangan itu ditanami kebutuhan dapur sehari-hari, umpamanya: bayam, tomat, cabai, talas, singkong, dan lain-lain.
Ada juga pekarangan rumah yang berupa apotek hidup. Betapa tidak. Di pekarangan
itu ditanami bahan obat-obatan tradisional, misalnya:
kumis kucing, lengkuas, jahe, kunyit, sirih, dan lain-lain. Kelebihan kebutuhan
sehari-hari dari warung dan apotek hidup itu dapat pula dijual ke pasar, sebagai contoh: bayam, cabai, jahe, dan sirih.
11. Paralelisme
Pada contoh berikut ini terlihat penggunaan kesejajaran atau
paralelisme klausa sebagai sarana kekoherensifan wacana. Kesejajaran tersebut
dinyatakan dalam satu kalimat. Kesejajaran tersebut bisa berupa subjek
predikat, subjek predikat objek, atau yang lain.
Waktu dia datang, memang saya
sedang asik membaca, saya sedang tekun
mempelajari buku baru mengenai wacana. Karena asiknya, saya tidak mengetahui, saya
tidak mendengar bahwa dia telah duduk di kursi mengamati saya.
12. Waktu
Kata-kata yang mengacu pada tempat dan waktu pun dapat
meningkatkan kekoherensifan wacana, seperti terlihat pada contoh berikut ini.
Sementara itu tamu-tamu sudah mulai berdatangan.
Ruangan terasa kian sempit. Tidak lama kemudian, anak saya mengangkat barang
itu dan menaruhnya di atas lemari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar