KONTEKS WACANA
A. PRAANGGAPAN (Presupposisi)
·
Pengertian Praanggapan :
Praanggapan
(presuposisi) berasal dari kata to pre-suppose, yang dalam bahasa
Inggris berarti to suppose beforehand (menduga sebelumnya), dalam arti
sebelum pembicara atau penulis mengujarkan sesuatu ia sudah memiliki dugaan
sebelumnya tentang kawan bicara atau hal yang dibicarakan.
Menurut George
Yule (1996:43) Presupposisi adalah sesuatu yang diasumsikan oleh penutur
sebagai kejadian sebelum menghasilkan suatu tuturan, yang memiliki presupposisi
adalah penutur, bukan kalimat.
Menurut Filmore (1981), dalam setiap percakapan selalu digunakan
tingkatan-tingkatan komunikasi yang implisit atau praaggapan dan eksplisit dan
ilokusi. Sebagai contoh, ujaran dapat dinilai tidak tidak relevan atau salah
bukan hanya dilihat dari segi cara pengungkapan pistiwa yang salah
pendeskripsiannya, tetapi juga pada cara membuat peranggapan yang salah.
Kesalahan membuat praanggapan mempunyai efek dalam ujaran manusia. Dengan
kata lain, praanggapan yang tepat dapat memprtinggi nilai komunikatif sebuah
ujaran yang diungkakan. Makin tepat praanggapan yang dihipotesiskan, makin
tinggi nilai komunikasi suatu ujaran. Dalam beberapa hal, makna wacana dapat
dicari melalui praaggapan, namun disisi lain terdapat makna yang tidak
dinyatakan secara eksplisit.
Dari beberapa definisi praanggapan di atas dapat disimpulkan bahwa
praanggapan adalah kesimpulan atau asumsi awal penutur sebelum melakukan
tuturan bahwa apa yang akan disampaikan juga dipahami oleh mitra tutur. Untuk
memperjelas hal ini, perhatikan contoh berikut :
(1) a:“Aku sudah membeli bukunya Pak Udin kemarin”
b : “Dapat potongan 30 persen kan?
b : “Dapat potongan 30 persen kan?
Contoh percakapan di atas
menunjukkan bahwa sebelum bertutur (1A) memiliki praanggapan bahwa B mengetahui
maksudnya yaitu terdapat sebuah buku yang ditulis oleh Pak Pranowo.
Kesalahan membuat praanggapan efek
dalam ujaran manusia. Dengan kata lain, praanggapan yang tepat dapat
mempertinggi nilai komunikatif sebuah ujaran yang diungkapkan. Makin tepat
praanggapan yang dihpotesiskan, makin tinggi nilai komunikatif sebuah ujaran
yang diungkapkan.
·
Ciri Praanggapan
Ciri praanggapan yang mendasar adalah sifat keajegan di
bawah penyangkalan (Yule, 2006:45). Hal ini memiliki maksud bahwa
praanggapan (presuposisi) suatu pernyataan akan tetap ajeg (tetap benar)
walaupun kalimat itu dijadikan kalimat negatif atau dinegasikan. Sebagai contoh
perhatikan beberapa kalimat berikut :
(1)
a: “Gitar Budi itu baru”.
b: “Gitar Budi tidak baru”.
Kalimat (b) merupakan bentuk negatif dari kaliamt (4a).
Praanggapan dalam kalimat (4a) adalah Budi mempunyai gitar. Dalam kalimat (b),
ternyata praanggapan itu tidak berubah meski kalimat (b) mengandung
penyangkalan tehadap kalimat (4a), yaitu memiliki praanggapan yang sama bahwa
Budi mempunyai gitar.
·
Jenis – Jenis Praanggapan
Praanggapan
(presuposisi) sudah diasosiasikan dengan pemakaian sejumlah besar kata, frasa,
dan struktur (Yule, 2006:46). Selanjutnya Gorge Yule mengklasifikasikan
praanggapan ke dalam 6 jenis praanggapan, yaitu presuposisi eksistensial,
presuposisi faktif, presuposisi non-faktif, presuposisi leksikal, presuposisi
struktural, dan presuposisi konterfaktual.
1.
Presuposisi Esistensial
Presuposisi
(praanggapan) eksistensial adalah preaanggapan yang menunjukkan eksistensi/
keberadaan/ jati diri referen yang diungkapkan dengan kata yang definit.
(1) a. Orang itu berjalan
b. Ada orang berjalan
b. Ada orang berjalan
2. Presuposisi
Faktif
Presuposisi
(praanggapan) faktif adalah praanggapan di mana informasi yang dipraanggapkan
mengikuti kata kerja dapat dianggap sebagai suatu kenyataan.
(1) a. Dia tidak menyadari bahwa ia
sakit
b. Dia sakit
(2) a. Kami menyesal mengatakan kepadanya
b. Kami mengatakan kepadanya
b. Dia sakit
(2) a. Kami menyesal mengatakan kepadanya
b. Kami mengatakan kepadanya
3. Presuposisi
Leksikal
Presuposisi
(praanggapan) leksikal dipahami sebagai bentuk praanggapan di mana makna yang
dinyatakan secara konvensional ditafsirkan dengan praanggapan bahwa suatu makna
lain (yang tidak dinyatakan) dipahami.
(1) a. Dia berhenti merokok
b. Dulu dia biasa merokok
(2)a. Mereka mulai mengeluh
b. Sebelumnya mereka tidak mengeluh
b. Dulu dia biasa merokok
(2)a. Mereka mulai mengeluh
b. Sebelumnya mereka tidak mengeluh
4. Presuposisi
Non-faktif
Presuposisi
(praanggapan) non-faktif adalah suatu praanggapan yang diasumsikan tidak benar.
(1) a. Saya membayangkan bahwa saya
kaya
b. Saya tidak kaya
(2) a. Saya membayangkan berada di Hawai
b. Saya tidak berada di Hawai
b. Saya tidak kaya
(2) a. Saya membayangkan berada di Hawai
b. Saya tidak berada di Hawai
5. Presuposisi
Struktural
Presuposisi
(praanggapan) struktural mengacu pada sturktur kalimat-kalimat tertentu telah
dianalisis sebagai praanggapan secara tetap dan konvensional bahwa bagian
struktur itu sudah diasumsikan kebenarannya. Hal ini tampak dalam kalimat
tanya, secara konvensional diinterpretasikan dengan kata tanya (kapan dan di
mana) seudah diketahui sebagai masalah.
(1) a. Di mana Anda membeli sepeda
itu?
b. Anda membeli sepeda
(2) a. Kapan dia pergi?
b. Dia pergi
b. Anda membeli sepeda
(2) a. Kapan dia pergi?
b. Dia pergi
6. Presuposisi
konterfaktual
Presuposisi
(praanggapan) konterfaktual berarti bahwa yang di praanggapkan tidak hanya
tidak benar, tetapi juga merupakan kebalikan (lawan) dari benar atau bertolak
belakang dengan kenyataan.
(1) a. Seandainya
B. IMPLIKATUR
Implikatur
berasal dari bahasa latin implicare yang berarti "melipat". hal ini
dijelaskan oleh Mey melalui Nadar (2009:60) bahwa untuk mengetahui apa yang
dilipat harus dengan cara membukanya. dengna kata lain, implikatur dapat
dikatakan sebagai sesuatu yang terlipat.
Implikatur
secara sederhana dapat diartikan sebagai makna tambahan yang disampaikan oleh
penutur yang terkadang tidak terdapat dalam tuturan itu sendiri. Sebuah tuturan
dapat mengimplikasikan proposisi yang bukan merupakan bagian dari tuturan
tersebut. Proposisi yang diimplikasikan tersebut oleh Grice disebut sebagai
implikatur percakapan. Secara
garis besar terdapat dua jenis implikatur. Yang pertama adalah implikatur
konvensional. Implikatur ini lebih menjelaskan pada apa yang yang diutarakan.
Sedangkan yang kedua telah disebut pada paragraf sebelumnya yaitu implikatur
percakapan. Implikatur percakapan lebih menekankan maksud lain dari apa yang
dituturkan.
Menurut George Yule
(1996:62) implikatur adalah contoh utama dari banyaknya informasi yang
disampaikan dari pada dikatakan. Supaya implikatur – implikatur tersebut dapat
ditafsirkan maka beberapa prinsip kerja sama dasar harus lebih dini diasumsikan
dalam pelaksanaannya.
Konsep implikatur kali pertama dikenalkan oleh
H.P.Grice (1975) untuk memecahkan persoalan makna bahasa yang tidak dapat diselesaikan
oleh teori semantik biasa. Implikatur dipakai untuk memperhitungkan apa yang
disarankan atau apa yang dimaksud oleh penutur sebagai hal yang berbeda dari
apa yang dinyatakan secara harfiah (Brown dan Yule, 1983:31).
C.
INFERENSI
Inferensi
adalah membuat simpulan berdasarkan ungkapan dan konteks penggunaannya. Dalam
membuat inferensi perlu dipertimbangkan implikatur. Implikatur adalah makna
tidak langsung atau makna tersirat yang ditimbulkan oleh apa yang terkatakan
(eksplikatur).
Menurut Gumperz
(1982) Inferensi yaitu penarikan kesimpulan sebagai proses interpretasi yang
ditentukan oleh situasi dan konteks percakapan. dengan demikian pendengar
menduga kemauan penutur, dan dengan itu pula pendengar meresponsnya. Dengan
begitu inferensi percakapan tidak hanya ditentukan oleh kata-kata pendukung
ujaran itu saja, melainkan juga didukung oleh konteks dan situasi. Sebuah
gagasan yang terdapat dalam otak penutur direlisasikan dalam bentuk
kalimat-kalimat. Jika penutur tidak pandai dalam menyusun kalimat maka akan
terjadi kesalahpahaman.
D. DIEKSIS
Dalam
penggunaannya, kata yang bersifat deiktis adalah kata yang referen atau
acuannya dapat berpindah-pindah. Kefleksibelan kata-kata atau leksem-leksem
deiktis acapkali berpengaruh pada makna kata dan maksud penutur. Hal ini
merupakan fenomena-fenomena tindak tutur yang bukan pada tempatnya kata-kata
itu digunakan.
Menurut George Yule
(1996:13) dieksis adalah istilah teknis (dari bahasa Yunani) untuk salah satu
hal mendasar yang kita lakukan dengan tuturan. Dieksis berarti “penunjukan”
melalui bahasa. Bentuk linguistik yang dipakai untuk menyelesaikan “penunjukan”
disebut ungkapan dieksis. Ketika anda menunjuk objek asing dan bertanya “Apa
itu?”, maka anda menggunakan ungkapan dieksis (“itu”) untuk menunjuk suatu dalam
konteks secara tiba – tiba. Ungkapan – umgkapan dieksis kadang kala juga
disebut dengan indeksial.
BAB
III
PEMBAHASAN
Untuk lebih memahami tentang Praanggapan,
Implikatur, Inferensi dan Dieksis. Berikut dibawah ini contoh dari Praanggapan, Implikatur,
Inferensi dan Dieksis.
A.Praanggapan
(1)
Saudara laki – laki Mary membeli 3 ekor kuda
Ketika menghasilkan tuturan dalam (1),
penutur tentunya diharapkan memiliki praanggapan bahwa seseorang yang bernama
Mary dan dia memiliki seorang saudara laki – laki. Penutur mungkin juga
menyimpan presupposisi yang lebih khusus bahwa mary hanya memiliki seorang
saudara laki – laki dan dia memiliki banyak uang. Sebenarnya semua presupposisi
ini menjadi milik penutur dan semua praanggapan itu boleh jadi salah. Dalam
kalimat (1) akan dianggap memiliki entailmen jika saudara laki – laki Mary
membeli sesuatu, membeli 3 ekor binatang, membeli 2 ekor kuda dan akibat –
akibat logis lainyang sama.
(2) Ibu saya datang dari Surabaya
Dalam contoh (2) praanggapan adalah: (1) saya
mempunyai ibu, (2) Ibu saya ada di Surabaya. Oleh krena itu, fungsi praanggapan ialah membantu mengurangi hambatan
respon orang terhadap penafsiran suatu ujaran.
B. Implikatur
(1) Dia orang Jawa karena itu dia rajin.
Pada contoh (1) tersebut, penutur tidak secara langsung menyatakan bahwa
suatu ciri (rajin) disebabkan oleh ciri lain (jadi orang Jawa), tetapi bentuk
ungkapan yang dipakai secara konvensional berimplikasi bahwa hubungan seperti
itu ada. Kalau individu yang dimaksud itu orang Jawa dan tidak rajin,
implikaturnya yang keliru, tetapi ujarannya tida salah. Contoh lain kata pria,
kata’ pria’ tentu mengimplikasikan mempunyai rambut, hidung, atau bibir
sehingga hunbungan antarkalimat pada contoh dibawah ini bersifat koheren,
meskipun tanpa kalimat Pria itu mempunyi rambut, hidung, dan bibir.
(2) Dia orang Madura, oleh karena itu dia pemberani.
Dalam kalimat
(2) penutur tidak secara langsung menyatakan bahwa suatu ciri pemberani adalah
ciri lain dari orang Madura, bentuk ungkapan yang dipakai itu secara
konvensional berimplikasi bahwa hubungan seperti itu ada. Jika orang Madura
adalah bukan pemberani, maka implikaturnya yang keliru, tetapi ujarannya tidak
salah.
Yang lebih
menarik bagi analisis wacana adalah konsep implikatur percakapan yang
diturunkan dari asas umum percakapan ditambah sejumlah bidal (maxims) yang biasanya dipatuhi para
penitur (Brown da Yule, 1983). Implikatur percakapan itu mengutip prinsip kerja
sama atau kesepakatan bersama, yakni kesepakatan bahwa hal yang dibicarakan
oleh partisipan harus saling terkait (Grice, 1975).
C. Inferensi
(1) Contoh:
Ada dua
orang teman berjumpa dan perjumpaan itu diceritakan oleh salah satunya kekawan
lainnya. Terjadilah percakapan berikut,
Yulia
: “Saya baru bertemu dengan si Ana.”
Halimah :
“Oh, si Ana kawan kita di SMA itu?”
Yulia
:
“Bukan, tapi Ana kawan kita waktu kuliah
dulu.”
Halimah :
“Ana yang berambut panjang itu?”
Yulia
: “Bukan Ana yang berambut panjang, tapi Ana yang berjilbab
itu loh?”
Halimah :
“Oh, ya, saya tahu.”
Pada ujaran pertama Halimah salah tangkap. Yang tergambar dibenaknya adalah
si Ana teman SMA. Setelah
diterangkan oleh Yulia bahwa Ana teman waktu kuliah, Halimah salah tangkap lagi, karea yang diduga adalah Ana yang berambut panjang. Sesudah kalimat ke tiga dari Yulia, barulah Halimah paham siapa si Ana sebenarnya.
Walaupun tanggapan tentang si Ana sudah jelas, akan tetapi apa yang dipikirkan oleh Yulia tidaklah dapat ditanggapi seluruhnya oleh Halimah karena masih banyak hal
yang masih tersembunyi, misalnya kapan Yulia bertemunya, di mana betemunya, berapa jam, dapat dikatakan bahwa yang
ditanggapi pendengar dari ucapan penutur itu hanya beberapa bagian saja dan
tidak seluruhnya.
D. Dieksis
(1) Saya akan meletakkan ini di sini
(Tentu
saja, Anda paham bahwa jim berkata kepada Anne bahwa ia akan meletakkan kunci
duplikat rumah di dalam salah satu laci di dapur).
Jelas
sekali bahwa diekasis mengacu pada bentuk yang terikat dengan konteks penutur,
yang dibedakan secara mendasar anatara ungkapan – ungkapan dieksis “dekat
penutur” dan “jauh dari penutur”. Dalam bahasa inggris “dekat penutur” atau
istilah – istilah proksimal adalah “ini”, “di sini”, “sekarang”, sedangkan
“jauh dari penutur” atau istilah distal adalah “itu”, “di sana”, “pada saat
itu”. Istilah – istilah proksimal biasanya ditafsirkan sebagai istilah tempat
pembicara atau pusat deiksis, sehingga “sekarang” umumnya dipakai sebagai acuan
terhadap titik atau keadaan pada saat tuturan penutur terjadi di tempatnya.
Sementara itu istilah distal menunjukkan “jauh dari penutur” tetapi dalam
bebrapa bahasa dapat digunakan untuk membedakan antara “dekat lawan tutur” dan
“jauh dari penutur maupun lawan tutur”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar