KAJIAN WACANA
A.
Pengertian
Kajian Wacana
Kajian merupakan suatu kata yang berasal dari kata “kaji” yang berartipelajaran dan atau penyilidikan (tentang sesuatu). Bermula dari
pengertian kata dasar yang demikian, kata ”kajian” berarti proses, cara, perbuatan mengkaji; penyelidikan
(pelajaran yang mendalam). Sedangkan wacana menurut Harimurti
Kridalaksana ( 1985: 184 ) dalam http://fauzyibrahim.blogspot.com/2014/02/pengertian-jenis-jenis-analisis-dan.html adalah satuan bahasa
terlengkap dalam hierarki gramatikal, merupakan satuan gramatikal atau satuan
bahasa tertinggi dan terbesar. Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa kajian wacana merupakan suatu
piranti yang digunakan untuk proses penyelidikan atau mengkaji satuan bahasa
terlengkap dalam hierarki gramatikal.
Sebuah wacana mempunyai dimensi yang luas karena wacana diproduksi oleh
masyarakat pemiliknya yang beragam dan kaya budaya.Untuk memahami secara mendalam
dan tuntas diperlukan berbagai sudut pandang.Ada enam ancangan kajian wacana,
diantarannya: teori tindak tutur, teori sosiolingustik interaksional, teori
etnografi komunikasi, teori pragmatik, teori analisis percakapan, dan teori
analisis variasi.
1. Kajian Pragmatik
Kajian wacana
dengan pendekatan pragmatik bertujuan untuk menggambarkan substansi suatu wacana dengan
memanfaatkan epistemologi pragmatik. Sasaran
kajiannya adalah menemukan dan mengungkap karakteristik wacana menurut kacamata
pragmatik.
Objek kajian
wacana dengan pendekatan ini adalah aspek pragmatik yang terdapat dalam sebuah
wacana. Misalnya memotret dan memahami (1) prinsip dan maksim kesantunan
penuturan wacana, (2) prinsip maksim kerjasama penuturan wacana, (3) prinsip
dan maksim kelakar dalam wacana humor, (4) prinsip dan maksim persuasif dalam
wacana pariwara, (5) prinsip dan maksim tutur dalam wacana peradilan, (6)
prinsip dan maksim tutur dalam wacana negosiasi, (7) prinsip dan maksim
tutur dalam wacana debat, (8) nilai kesantunan yang terdapat dalam wacana, dan
sebagainya.
Ancangan pragmatik yang ditawarkan model Grace dalam Deborah Schiffrin
(2007: 269) untuk analisis wacana didasarkan pada seperangkap prinsip umum
tentang kerasionalan perilaku komunikatif (PK) yang mengatakan bagaimana
penutur dan mitra tutur untuk mengenali dan menggunakan informasi ysng
ditawarkan dalam sebuah teks atau sebuah wacana, bersamaan dengan latar
belakang pengetahuan dunia (termasuk pengetahuan konteks sosial secara
langsung) untuk mengungkapkan dan lebih memahami apa yang telah dikatakan
secara singkat dalam berkomunikasi.
Penerapan prinsip tersebut mengarah pada pandangan struktur wacana definite
(secara nyata dapat didefinisikan) yang tahapannya menggantung batas-batas
yang ditentukan oleh satu bagian wacana pada apa yang muncul dalam teks, sebab
pengaruh prinsip komunikasi umum pada realisasi linguistik makna penutur pada
waktu yang berbeda. Misalnya, analisis tahapan acuan kami, dinyatakan bahwa
informasi tekstual dan kontekstual disajikan dalam posisi awal dalam wacana
disajikan sebagai latar belakang yang menetapkan bagaimana banyaknya informasi
menjadi tepat dalam posisi teks, dan juga relevansi tujuan informasi tersebut.
Penerapan
prinsip kerja sama dalam satu bagian wacana membantu membatasi pilihan orang
lain; secara fungsional memiliki dasar saling ketergantungan yang membantu
menciptakan tahapan karakteristik aturan wacana dan membiarkan orang tersebut
menggunakan teks dan konteks sebagai sumber yang komunikatif antarsesama
manusia.
Penawaran pragmatik
model Grice dalam Deborah Schiffrin (2007: 269) pada analisis
wacana memandang bagaimana asumsi partisipan terdiri atas konteks kerja sama
untuk komunikasi (satu konteks termasuk pengetahuan teks, dan situasi) memberi
kontribusi makna, dan bagaimana asumsi tersebut membantu menciptakan tahapan
pola bicara.
Pragmatik model
Grice pada acuan peristilahan dalam sebuah cerita bermakna bahwa analisis
tersebut dibantu atau ditunjukkan dalam bagian besar dan tahapan acuan yang ada
dalam cerita, dari pada mengusulkan
relevansi yang abstrak antara maksim-maksim dan mencoba menemukan contoh-contoh
yang memperkuat relevansi tersebut.
2. Etnografi
Komunikasi
Kajian sosiolinguistik yang tergolong mendapat perhatian cukup besar adalah
kajian tentang etnografi komunikasi.Etnografi adalah kajian tentang kehidupan
dan kebudayaan suatu masyarakat atau etnik, misalnya tentang adat-istiadat,
kebiasaan, hukum, seni, religi, bahasa. Dalam Deborah Schiffrin (2007: 185)
Menurut Hymes (1974) dalam Deborah Schiffrin (2007: 184) istilah etnografi
komunikasi sendiri menunjukkan cakupan kajian berlandaskan etnografi dan
komunikasi. Cakupan kajian tidak dapat dipisah-pisahkan, misalnya hanya
mengambil hasil-hasil kajian dari linguistik, psikologi, sosiologi, etnologi,
lalu menghubung-hubungkannya.Fokus kajiannya hendaknya meneliti secara langsung
terhadap penggunaan bahasa dalam konteks situasi tertentu, sehingga dapat
mengamati dengan jelas pola-pola aktivitas tutur, dan kajiannya diupayakan
tidak terlepas (secara terpisah-pisah), misalnya tentang gramatika (seperti
dilakukan oleh linguis), tentang kepribadian (seperti psikologi), tentang
struktur sosial (seperti sosiologi), tentang religi (seperti etnologi), dan
sebagainya.Dalam kaitan dengan landasan itu, seorang peneliti tidak dapat
membentuk bahasa, atau bahkan tutur, sebagai kerangka acuan yang
sempit.Peneliti harus mengambil konteks suatu komunitas (community),
atau jaringan orang-orang, lalu meneliti kegiatan komunikasinya secara
menyeluruh, sehingga tiap penggunaan saluran atau kode komunikasi selalu
merupakan bagian dari khasanah komunitas yang diambil oleh para penutur ketika
dibutuhkan.
Menurut Hymes dalam Deborah Schiffrin (2007: 269), linguistik
yang dapat memberikan sumbangan terhadap etnografi komunikasi itulah yang kini
dikenal dengan nama sosiolinguistik. Namun, sosiolinguistik itu tidak serupa
dengan segala sesuatu yang baru-baru ini termasuk dengan nama sosiolinguistik.
Bagi Hymes, sosiolinguistik itu memberikan sumbangan terhadap kajian komunikasi
pada umumnya melalui kajian tentang organisasi alat-alat verbal dan tujuan
akhir yang didukungnya. Pendekatan di dalam sosiolinguistik yang demikian itu
disebut etnografi komunikasi, yaitu kajian tentang “etnografi wicara”.Untuk
memahami kajian ini, Hymes menyarankan untuk mengubah orientasi peneliti
terhadap bahasa, yang mencakup tujuh butir. Tekanan itu harus diarahkan kepada
(1) struktur atau sistem tutur (la parole); (2) fungsi yang lebih
daripada struktur; (3) bahasa sebagai tatanan, dalam arti banyak mengandung fungsi,
dan fungsi yang berbeda menunjukkan perspektif dan tatanan yang berbeda; (4)
ketepatan unsur linguistik dengan pesan (yang hendak disampaikan); (5)
keanekaragaman fungsi dari berbagai bahasa dan alat-alat komunikasi lainnya,
(6) komunitas atau konteks sosial lainnya sebagai titik tolak pemahaman- (7)
fungsi-fungsi itu sendiri dikuatkan atau dibenarkan dalam konteks, dan biasanya
tempat batas, dan tatanan bahasa serta alat komunikasi lainnya diangkat sebagai
problematika. Secara singkat, pengutamaan lebih kepada tutur daripada kode,
kepada fungsi daripada struktur, ada konteks ketimbang pesan, kepada ketepatan
daripada kesewenangan atau hanya kemungkinan; tetapi antarhubungan antara
semuanya itu selalu esensial, sehingga .peneliti tidak bisa hanya menggeneralisasikan
kekhususan, melainkan juga mengkhususkan yang umum.
Konsep etnografi wicara di dalam sosiolinguistik menurut Hymes merupakan
bagian dari kajian komunikasi secara keseluruhan.Untuk itu perlu dipahami
beberapa konsep penting yang berkaitan dengan etnografi wicara.
Deborah Schiffrin (2007: 261), Ancangan kajian etnografi terhadap wacana
diperlukan untuk menemukan dan menganalisis struktur-struktur dan fungsi-fungsi
dari komunikasi yang mengatur penggunaan bahasa dalam situasi tutur, peristiwa
tutur, dan tindak tutur.
3. Kajian Analisis
Variasi
Ancangan wacana
variosionis berasal dari studi kuantitatif perubahan dan variasi
linguistic.Walaupun analisis tersebut secara tipical berfokus pada
pembatasan-pembatasan social dan linguistic pada varian equivalen secara
semantic, ancangan tersebut juga diperluas ke arah teks.Kami melihat bahwa unit
dasar narasi adalah peristiwa, unit dasar daftar adalah kesatuan. Informasi utama daftar adalah deskriftif. Pembandingan
tersebut merefleksikan tendensi variasiois terhadap tuturan wacana dalam
istilah yang sama yang digunakan dengan orientasi linguistic secara structural:
“unit-unit” beranak-pihak ke arah konstituen: “informasi” dalam pengertian
proposional (meskipun fakta bahwa proposisi sendiri memilki interpretasi
evaluative);”struktur” adalah aturan sintagmatis dan paradigmatis dari
unit-unit dalam pola-pola berulang (Deborah
Schiffrin 2007: 426)
4. Teori Tindak
Tutur
Tindak tutur
atau tindak ujar (speech act) merupakan entitas yang bersifat sentral
dalam pragmatik sehingga bersifat pokok di dalam pragmatik. Tindak tutur
merupakan dasar bagi nanalisis topik-topik pragmatik lain seperti praanggapan,
perikutan, implikatur percakapan, prinsip kerja sama, dan prinsip kesantunan.
Kajian pragmatik yang tidak mendasarkan analisisnya pada tindak tutur bukanlah
kajian pragmatik dalam arti yang sebenarnya.
Suwito dalam
bukunya Sosiolinguistik: Teori dan Problem mengemukakan jika peristiwa
tutur (speech event) merupakan gejala sosial dan terdapat interaksi
antara penutur dalam situasi dan tempat tertentu, maka tindak tutur lebih
cenderung sebagai gejala individual, bersifat psikologis dan ditentukanm oleh
kemampuan bahasa penutur dalam menghadapi situasi tertentu. Jika dalam
peristiwa tutur orang menitikberatkan pada tujuan peristiwa, maka dalam tindak
tutur lebih memperhatikan makna atau arti tindakan dalam tuturan itu.
Dari literatur
pragmatik, dapat dijelaskan bahwa tindak tutur adalah tuturan dari seseorang
yang bersifat psikologis dan yang dilihat dari makna tindakan dalam tuturannya
itu.serangkaian tindak tutur akan membentuk suatu peristiwa tutur (speech
event).
Jadi dapat disimpulkan bahwa tindak tutur merupakan suatu ujaran yang
mengandung tindakan sebagai suatu fungsional dalam komunikasi yang
mempertimbangkan aspek situasi tutur.
Sebelum membicarakan teori mengenai tindak tutur
itu lebih lanjut lagi, ada baiknya kita bicarakan dulu mengenai pembagian jenis
kalimat yang dilakukan oleh para ahli tata bahasa tradisional.Menurut tata
bahasa tradisional ada tiga jenis kalimat yaitu, kalimat deklaratif, kalimat
interogatif, dan kalimat imperatif.Kalimat deklaratif adalah kalimat yang
isinya hanya meminta pendengar atau yang mendengar kalimat itu untuk menaruh
perhatian saja, tidak usah melakukan apa-apa sebab maksud si pengujar hanya untuk
memberitahukan saja.Kalimat interogatif adalah kalimat yang isinya meminta agar
pendengar atau orang yang mendengar kalimat itu untuk memberi jawaban secara
lisan.Jadi yang diminta bukan hanya sekedar perhatian, melainkan juga jawaban. Sedangkan kalimat imperatif adalah kalimat yang isinya meminta agar
si pendengar atau yang mendengar kalimat
itu memberi tanggapan berupa tindakan atau perbuatan yang diminta.
Pembagian kalimat deklaratif, interogatif, dan imperatif adalah
berdasarkan bentuk kalimat secara terlepas.Artinya kalimat dilihat atau
dipandang sebagai satu bentuk keutuhan tertinggi. Kalau kalimat-kalimat itu
dipandang pada tataran yang lebih tinggi yakni dari tingkat wacana maka
kalimat-kalimat tersebut dapat saja menjadi tidak sama antara bentuk formalnya
dengan bentuk isinya. Ada kemungkinan sebuah kalimat deklaratif atau kalimat
interogatif tidak lagi berisi pernyataan dan pertanyaan melainkan menjadi
berisi perintah. Hal ini dilakukan untuk mempertimbangkan norma sosial dan
etika tutur. Jadi, bukan kalimat imperatif yang diujarkan melainkan kalimat
deklaratif atau interogatif.
Austin(1962) dalam Deborah Schiffrin (2007:63) membedakan kalimat deklaratif berdasarkan maknanya menjadi kalimat
konstatif dan kalimat performatif. Yang dimaksud dengan kalimat konstatif
adalah kalimat yang berisi pernyataan belaka seperti “Ibu dosen kami cantik
sekali”, atau “Pagi tadi dia terlambat bangun”.Sedangkan yang dimaksud dengan
kalimat performatif adalah kalimat yang berisi perlakuan. Artinya apa yang
diucapkan oleh si pengujar berisi apa yang dilakukannya. Misalnya, kalau
seorang rektor mengatakan, “Dengan mengucapkan Bismillah acara pelatihan ini
saya buka”, maka makna kalimat itu adalah apa yang diucapkannya. Atau dengan
kata lain, apa yang dilakukannya itu adalah apa yang diucapkannya.
Kalimat performatif dapat digunakan untuk
mengungkapkan sesuatu secara eksplisit dan implisit.Secara eksplisit, artinya,
dengan menghadirkan kata-kata yang mengacu pada pelaku seperti saya atau kami.Umpamanya, “Saya berjanji akan mengirimkan uang itu
secepatnya”.Sedangkan kalimat performatif yang implisit adalah yang tanpa
menghadirkan kata-kata yang menyatakan pelaku.Misalnya “jalan ditutup” (yang
secara implisit memperingatkan untuk tidak melewati jalan itu). Di balik kalimat-kalimat performatif yang implisit itu tentunya ada pihak
yang meminta agar kita melakukan apa yang dimintanya.
Austin (1960:150-163) membagi kalimat performatif
menjadi lima kategori, yaitu (1) kalimat verdiktif yakni kalimat perlakuan yang
menyatakan keputusan atau penilaian, misalnya, “Kami menyatakan terdakwa
bersalah”; (2) kalimat eksersitif yakni kalimat perlakuan yang menyatakan
nasihat, peringatan, dan sebagainya, misalnya, “Kami harap kalian setuju dengan
keputusan ini”; (3) kalimat komisif adalah kalimat perlakuan yang dicirikan
dengan perjanjian, pembicara berjanji dengan Anda untuk melakukan sesuatu,
misalnya, “Besok kita menonton sepak bola”; (4) kalimat behatitif adalah
kalimat perlakuan yang berhubungan dengan tingkah laku sosial karena seseorang
mendapat keberuntungan atau kemalangan, misalnya, “Saya mengucapkan selamat
atas pelantikan Anda menjadi mahasiswa teladan”; dan (5) kalimat ekspositif
adalah kalimat perlakuan yang memberi penjelasan, keterangan, atau perincian
kepada seseorang, misalnya, “Saya jelaskan kepada Anda bahwa dia tidak
bersalah”.
Tindak tutur yang dilangsungkan dengan kalimat performatif oleh Austin
(1962: 100-102) dirumuskan sebagai tiga peristiwa tindakan yang berlangsung
sekaligus, yaitu:
1.
Tindak
tutur lokusi, yakni tindak tutur yang menyatakan sesuatu dalam arti “berkata”
atau tindak tutur dalam bentuk kalimat yang bermakna dan dapat dipahami
(pernyataan). Misalnya, “Ibu berkata kepada saya agar saya membantunya”.
2.
Tindak
tutur ilokusi, adalah tindak tutur yang biasanya diidentifikasikan dengan
kalimat performatif yang eksplisit. Tindak tutur ilokusi biasanya berkenaan
dengan pemberian izin, mengucapkan terima kasih, menyuruh, menawarkan, dan
menjanjikan.Misalnya “Ibu menyuruh saya agar segera berangkat”.Kalau tindak
tutur ilokusi hanya berkaitan dengan makna, maka makna tindak tutur ilokusi
berkaitan dengan nilai, yang dibawakan oleh preposisinya.
3.
4.
Tindak
tutur perlokusi, adalah tindak tutur yang berkenaan dengan adanya ucapan orang
lain sehubungan dengan sikap dan perilaku nonlinguistic dari orang lain itu.
Misalnya, karena adanya ucapan dokter (kepada pasiennya) “Mungkin ibu menderita
penyakit jantung koroner”, maka si pasien akan panik dan sedih.
5.
Tindak tutur ilokusi adalah tindak tutur yang biasanya
diidentifikasikan dengan kalimat performatif yang eksplisit.Menurut pendapat
Austin ilokusi adalah tindak melakukan sesuatu.Ilokusi merupakan tindak tutur
yang mengandung maksud dan fungsi atau daya tuturan. Bagi Austin, tujuan penutur dalam
bertutur bukan hanya untuk memproduksi kalimat-kalimat yang memiliki pengertian
dan acuan tertentu. Bahkan tujuannya adalah untuk menghasilkan kalimat-kalimat
yang memberikan konstribusi jenis gerakan interaksional tertentu pada
komunikasi.Tindak tutur ilokusi ini biasanya berkenaan den gan pemberian izin, mengucapkan
terima kasih, menyuruh, menawarkan, dan menjanjikan. Misalnya:
1. Sudah hampir pukul tujuh
Kalimat di atas bila dituturkan oleh
seorang suami kepada istrinya di pagi hari, selain memberi informasi tentang
waktu, juga berisi tindakan yaitu mengingatkan si istri bahwa si suami harus
segera berangkat ke kantor, jadi minta disediakan sarapan. Oleh karena itu, si istri akan menjawab
mungkin seperti kalimat berikut, “Ya Pak! Sebentar lagi sarapan siap.
6.
Tindak tutur lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan
sesuatu sebagaimana adanya atau The Act of Saying Something tindakan
untuk mengatakan sesuatu.Fokus lokusi adalah makna tuturan yang diucapkan,
bukan mempermasalahkan maksud atau fungsi tuturan itu.Rohmadi mendefinisikan
bahwa lokusi adalah tindak bertutur dengan kata, frasa, dan kalimat sesuai
dengan makna yang dikandung oleh kata, frasa, dan kalimat itu.Lokusi dapat
dikatakan sebagai the act of saying something.Tindak lokusi merupakan
tindakan yang paling mudah diidentifikasi karena dalam pengidentifikasiannya
tidak memperhitungkan konteks tuturan. Dengan kata lain, tindak tutur lokusi
adalah tindak tutur yang menyatakan sesuatu dalam arti “berkata” atau tindak
tutur dalam bentuk kalimat yang bermakna dan dapat dipahami. Misalnya:
1)
Jembatan Suramadu menghubungkan Pulau Jawa dan Pulau Madura
2)
Tahun 2004 gempa dan tsunami melanda Banda Aceh.
Dua kalimat di atas dituturkan oleh
seorang penutur semata-mata hanya untuk memberi informasi sesuatu belaka, tanpa
tendensi untuk melakukan sesuatu.apalagi untuk mempengaruhi lawan tuturnya.
Informasi yang diberikan pada kalimat pertama adalah mengenai jembatan Suramadu
yang menghubungkan pulau Jawa dan Pulau Madura.Sedangkan kalimat kedua memberi
informasi mengenai gempa dan tsunami yang pada tahun 2004 melanda Banda
Aceh.Lalu, apabila disimak baik-baik tampaknya tindak tutur louksi ini hanya
memberi makna secara harfiah, seperti yang dinyatakan dalam kalimatnya.
7. Tindak tutur perlokusi adalah tindak
tutur yang berkenaan dengan adanya ucapan orang lain sehubungan dengan sikap
dan perilaku nonlinguistik dari orang lain. Misalnya:
1. Rumah
saya jauh sih
2. Minggu
lalu saya ada keperluan keluarga yang tidak dapat ditinggalkan
Tuturan pada kalimat pertama bukan hanya memberi informasi
bahwa rumah si penutur itu jauh, tetapi juga bila dituturkan oleh seorang guru
kepada kepala sekolah dalam rapat penyusunan jadwal pelajaran pada awal tahun
menyatakan maksud bahwa si penutur tidak dapat datang tepat waktu pada jam
pertama. Maka efeknya atau pengaruhnya yang diharapkan si kepala sekolah akan
memberi tugas mengajar tidak pada jam-jam pertama, melainkan pada jam-jam lebih
siang. Kalimat kedua selain memberi informasi bahwa si penutur pada minggu lalu
ada kegiatan di keluarga, juga bila dituturkan pada lawan tutur yang pada
minggu lalu mengundang untuk hadir pada resepsi pernikahan, bermaksud juga
minta maaf.Lalu, efek yang diharapkan adalah agar si lawan tutur memberi maaf
kepada si penutur.
Untuk
memperjelas pemahaman kita tentang lokusi, ilokusi dan perlokusi dapat kita
lihat dengan memberi contoh dalam satu tuturan.
“Anjing
galak itu ada di kebun”
Jika penutur yang mengatakan kalimat tersebut sedang
berusaha memproduksi kalimat yang maknanya didasarkan pada acuan anjing dan
kebun tertentu dalam dunia luar, maka penutur ini sedang memproduksi tindak
lokusi.Sedangkan jika si penutur bermaksud memperingatkan seseorang agar tidak
masuk ke dalam kebun karena di dalam kebun ada anjing galak, maka peringatan
merupakan daya ilokusi ujaran itu. Dan Jika dengan mengujarkan “Anjing galak
itu ada di kebun”, penutur berhasil menghalangi pendengarnya untuk masuk ke
dalam kebun, maka melalui ujaran ini, penutur telah melakukan suatu tindak
perlokusi.
Pencetus teori tindak tutur, Searle membagi tindak tutur
menjadi lima kategori:
1.
Representative/asertif, yaitu tuturan yang mengikat
penuturnya akan kebenaran atas apa yang diujarkan. Tindak tutur jenis ini juga
disebut dengan tindak tutur asertif.Yang termasuk tindak tutur jenis ini
adalah tuturan menyatakan, menuntut, mengakui, menunjukkan, melaporkan,
memberikan kesaksian, menyebutkan, berspekulasi. Contoh jenis tuturan ini
adalah: “Adik selalu unggul di kelasnya”. Tuturan tersebut termasuk tindak
tutur representatif sebab berisi informasi yang penuturnya terikat oleh
kebenaran isi tuturan tersebut.Penutur bertanggung jawab bahwa tuturan yang
diucapkan itu memang fakta dan dapat dibuktikan di lapangan bahwa si adik rajin
belajar dan selalu mendapatkan peringkat pertama di kelasnya. Contoh yang lain
adalah: “Tim sepak bola andalanku menang telak”, “Bapak gubernur meresmikan
gedung baru ini”.
2.
Direktif/impositif, yaitu tindak tutur yang dimaksudkan
penuturnya agar si pendengar melakukan tindakan yang disebutkan di dalam
tuturan itu. Tindak tutur direktif disebut juga dengan tindak tutur impositif.
Yang termasuk ke dalam tindak tutur jenis ini antara lain tuturan meminta, mengajak,
memaksa, menyarankan, mendesak, menyuruh, menagih, memerintah, mendesak,
memohon, menantang, memberi aba-aba. Contohnya adalah “Bantu aku memperbaiki
tugas ini”.Contoh tersebut termasuk ke dalam tindak tutur jenis direktif sebab
tuturan itu dituturkan dimaksudkan penuturnya agar melakukan tindakan yang
sesuai yang disebutkan dalam tuturannya yakni membantu memperbaiki
tugas.Indikator dari tuturan direktif adalah adanya suatu tindakan yang
dilakukan oleh mitra tutur setelah mendengar tuturan tersebut.
3.
Ekspresif/evaluatif. Tindak tutur
ini disebut juga dengan tindak tutur evaluatif.Tindak tutur ekspresif
adalah tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya agar tuturannya diartikan
sebagai evaluasi tentang hal yang disebutkan dalam tuturan itu, meliputi tuturan
mengucapkan terima kasih, mengeluh, mengucapkan selamat, menyanjung, memuji,
meyalahkan, dan mengkritik.Tuturan “Sudah kerja keras mencari uang, tetap saja
hasilnya tidak bisa mencukupi kebutuhan keluarga”.Tuturan tersebut merupakan
tindak tutur ekspresif mengeluh yang dapat diartikan sebagai evaluasi tentang
hal yang dituturkannya, yaitu usaha mencari uang yang hasilnya selalu tidak
bisa memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Contoh tuturan lain adalah
“Pertanyaanmu bagus sekali” (memuji), “Gara-gara kecerobohan kamu, kelompok
kita didiskualifikasi dari kompetisi ini” (menyalahkan), “Selamat ya, Bu,
anak Anda perempuan” (mengucapkan selamat).
4.
Komisif. Tindak tutur komisif adalah
tindak tutur yang mengikat penuturnya untuk melaksanakan segala hal yang
disebutkan dalam ujarannya, misalnya bersumpah, berjanji, mengancam, menyatakan
kesanggupan, berkaul.Contoh tindak tutur komisif kesanggupan adalah “Saya sanggup
melaksanakan amanah ini dengan baik”. Tuturan itu mengikat penuturnya
untuk melaksanakan amanah dengan sebaik-baiknya. Hal ini membawa
konsekuensi bagi dirinya untuk memenuhi apa yang telah dituturkannya. Cotoh
tuturan yang lain adalah “Besok saya akan datang ke pameran lukisan Anda”,
“Jika sore nanti hujan, aku tidak jadi berangkat ke Solo”.
5.
Deklaratif/establisif/isbati, yaitu tindak tutur yang
dimaksudkan penuturnya untuk menciptakan hal (status, keadaan, dsb) yang baru. Tindak tutur
ini disebut juga dengan istilah isbati.Yang termasuk ke dalam jenis
tuutran ini adalah tuturan dengan maksud mengesankan, memutuskan, membatalkan,
melarang, mengabulkan, mengizinkan, menggolongkan, mengangkat, mengampuni,
memaafkan.Tindak tutur deklarasi dapat dilihat dari contoh berikut ini.
“Ibu tidak jadi membelikan adik mainan.” (membatalkan)
“Bapak memaafkan kesalahanmu.” (memaafkan)
“Saya memutuskan untuk mengajar di SMA almamater
saya.” (memutuskan).
Tindak tutur juga dibedakan menjadi dua yaitu tindak tutur
langsung dan tindak tutur tidak langsung.Tindak tutur langsung merupakan bentuk
deklaratif yang digunakan untuk membuat suatu pernyataan, sedangkan tindak
tutur tidak langsung merupakan bentuk deklaratif yang digunakan untuk membuat
suatu permohonan.Penggunaan tuturan secara konvensional menandai kelangsungan
suatu tindak tutur langsung.Tuturan deklaratif, tuturan interogatif, dan
tuturan imperatif secara konvensional dituturkan untuk menyatakan suatu
informasi, menanyakan sesuatu, dan memerintahkan mitra tutur melakukan
sesuatu.Kesesuaian antara modus dan fungsinya secara konvensional inilah yang
merupakan tindak tutur langsung. Sebaliknya, jika tututan deklaratif digunakan
untuk bertanya atau memerintah atau tuturan yang bermodus lain yang digunakan
secara tidak konvensional, tuturan itu merupakan tindak tutur tidak langsung.
Misalnya, pernyataan “Di luar dingin”.Jika stuturan ini digunakan untuk membuat
suatu pernyataan dengan maksud menginformasikan kepada pendengar tentang cuaca
maka tuturan tersebut berfungsi sebagai tindak tutur langsung.Sedangkan jika
tuturan itu digunakan untuk membuat suatu perintah atau permohonan dalam arti
si penutur memohon kepada pendengar agar menutup pintu, maka tuturan tersebut
berfungsi sebagai suatu tindak tutur tidak langsung.
5.
Kajian Sosiolinguistik Interaksional
Definisi di pembahasan sosiolinguistik
interaksional ini bukan definisi yang semestinya.Akan tetapi, definisi di
pembahasan sosiolinguistik interaksional ini adalah pandangan atau lebih
tepatnya sebuah kontribusi dari dua tokoh yang akhirnya bisa mengembangkan
masalah sosiolinguistik interaksional.Dalam bagian ini, Deborah (2007: 125) mendeskripsikan gagasan dasar
sosiolingustik interaksional.Deborah mengawali dengan kerja Gumperz dan
kemudian beralih ke kerja Goffman.
Bahwa
sosiolinguistik interaksional memberikan sebuah ancangan wacana yang berfokus
pada peletakan makna atau penempatan makna.Jadi, Gumperz fokus pada
ditempatkanya inference (dugaan), sedangkan Goffman memberikan kerangka
kerja sosiologis untuk mendeskripsikan dan memahami bentuk dan makna untuk
konteks sosial dan interpersonal yang memberikan praduga untuk interpretasi
makna. Mencoba
menemukan penempatan makna dan mencari bagaimana makna tersebut memberi
kontribusi ke arah proses dan pemerolehan interaksi.
6.
Kajian Analisis
Percakapan
Analisis percakapan (AP) merupakan suatu pendekatan analisis wacana
(Achmad, 2006:11) dalam http://abdurahman-padang.blogspot.com/2012/11/analisis-percakapan-pasambahan.html. Pendekatan ini telah dipopulerkan oleh ahli
sosiologi Garfinkel berdasarkan ancangan etnometodelogi dan kemudian diterapkan
dalam analisis percakapan oleh Sack (1975) dan Jeffersen (1974). AP berbeda
dengan cabang sosiologi karena bukan hanya mengalisis aturan sosial tapi juga
mencari dan menemukan cara atau metode yang digunakan anggota masyarakat untuk
menghasilkan makna aturan sosial. Analisis percakapan merupakan sebuah ancangan
wacana yang menekankan konteks, relevansi konteks, berdasarkan teks.
Percakapan merupakan sumber bagi aturan sosial yang memperlihatkan adanya
urutan dan struktur percakapan. AP menaruh perhatian pada masalah aturan
sosial yaitu bagaimana bahasa
menciptakan dan diciptakan oleh konteks sosial, di samping pengetahuan manusia
yang tidak terbatas pada pengetahuan sempit tetapi meliputi kebiasaan yang ada
dan digunakan. Ringkasnya, pengetahuan tidak
dapat dipisahkan dari konteks dan masyarakat pemakainya, sehingga perlu
dianalisis.
B.
Manfaat Kajian Wacana Dalam Konteks
Indonesia
Kajian wacana memiliki
manfaat yang besar apabila dikaitkan dengan koteks Indonesia yang beraneka
ragam kultur dan budayanya. Manfaat tersebut antara lain sebagai berikut.
1)
Membantu masyarakat memahami berbagai permasalahan yang terjadi sekaligus
mencari solusinya. Dengan adanya analisis wacana dapat membantu masyarakat
untuk berpikir kritis dalam menghadapi berbagai permasalahan yang ada di dalam
masyarakat. Misalnya saja, kajian wacana akan membantu dalam mendalami
permasalahan berikut mencari solusi atas berbagai masalah misalnya banjir yang
selalu melanda ibukota setiap tahun, memahami bursa pencalonan presiden,
menangani permasalahan berkaitan dengan pengemis yang menjamur dimana-mana,
kemacetan lalu lintas, dan lain sebagainya.
2)
Sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan langkah yang akan diambil
setelah melihat fakta yang berkembang di masyarakat. Dalam sebuah analisis
wacana pasti di dalamnya terdapat berbagai pandangan yang didukung oleh
pemikiran-pemikiran yang logis. Dengan adanya bahan pertimbangan ini akan
semakin memudahkan masyarakat dalam menentukan langkah. Contoh sederhana,
ketika seorang wanita akan memilih produk kecantikan cocok dengan dirinya tentu
terdapat banyak penawaran produk yang bervariasi mulai dari bentuk produk,
harga, maupun kualitasnya. Kajian wacana ini akan membantu menganalisis untuk
menentukan pilihan tersebut.
3)
Kajian wacana dapat mengungkap berbagai fakta, idealisme yang tersirat
dalam sebuah wacana guna mengetahui maksud dan tujuan penulis wacana tersebut.
Kajian wacana ini terutama adalah manfaat kajian wacana kritis. Kajian ini akan
membantu masyarakat dalam memahami lebih dalam berkaitan dengan dominasi
kekuasaan yang ada dalam wacana. Misalnya, dalam iklan di dalamnya pasti ada
upaya untuk memengaruhi pemirsa/pembaca untuk menggunakan produk/jasa tertentu.
Dengan adanya analisis wacana kritis akan membantu masyarakat untuk berpikir
secara lebih kritis disertai berbagai pertimbangan yang matang agar tidak mudah
tergoda oleh bujuk rayu iklan yang bernada bombastis tersebut.
4)
Membongkar nilai-nilai yang terkandung dalam sebuah wacana. Nilai-nilai
ini tentu adalah nilai-nilai kebenaran yang sebenarnya, bukan sekedar kamuflase
permainan bahasa. Masyarakat akan dituntun untuk memilah mana nilai yang baik
dan mana yang tidak sekaligus mendukung
nilai-nilai yang baik tersebut agar tumbuh subur dalam budaya masyarakat,
misalnya nilai kerukunan, kebersamaan, toleransi, dan lain sebagainya.
5)
Kajian wacana memberikan
kontribusi bagi perkembangan pendidikan dengan menanamkan sikap skeptic dan critical thingking terhadap segala hal. Penanaman sikap ini akan
selalu meningkatkan kewaspadaan terhadap segala hal. Secara tidak langsung hal
ini akan mendorong masyarakat untuk
selalu berlatih berpikir sistematis.
6)
Kajian wacana memungkinkan menganalisis fenomena-fenomena yang terjadi di
lingkungan sekitar dari berbagai sudut pandang. Hal ini akan membawa dampak
pada meningkatkan pemahaman dan pengetahuan dari berbagai sisi sehingga
memerkaya pengalaman dan pengetahuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar