Sabtu, 13 Juni 2015

KAJIAN WACANA



KAJIAN WACANA
A.    Pengertian Kajian Wacana
Kajian merupakan suatu kata yang berasal dari kata “kaji” yang berartipelajaran dan atau penyilidikan (tentang sesuatu). Bermula dari pengertian kata dasar yang demikian, kata ”kajian” berarti proses, cara, perbuatan mengkaji; penyelidikan (pelajaran yang mendalam). Sedangkan wacana menurut Harimurti Kridalaksana ( 1985: 184 ) dalam http://fauzyibrahim.blogspot.com/2014/02/pengertian-jenis-jenis-analisis-dan.html adalah satuan bahasa terlengkap dalam hierarki gramatikal, merupakan satuan gramatikal atau satuan bahasa tertinggi dan terbesar. Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa kajian wacana merupakan suatu piranti yang digunakan untuk proses penyelidikan atau mengkaji satuan bahasa terlengkap dalam hierarki gramatikal.
Sebuah wacana mempunyai dimensi yang luas karena wacana diproduksi oleh masyarakat pemiliknya yang beragam dan kaya budaya.Untuk memahami secara mendalam dan tuntas diperlukan berbagai sudut pandang.Ada enam ancangan kajian wacana, diantarannya: teori tindak tutur, teori sosiolingustik interaksional, teori etnografi komunikasi, teori pragmatik, teori analisis percakapan, dan teori analisis variasi.
1.      Kajian Pragmatik
Kajian wacana dengan pendekatan pragmatik bertujuan untuk menggambarkan substansi suatu wacana dengan memanfaatkan epistemologi pragmatik. Sasaran kajiannya adalah menemukan dan mengungkap karakteristik wacana menurut kacamata pragmatik.
Objek kajian wacana dengan pendekatan ini adalah aspek pragmatik yang terdapat dalam sebuah wacana. Misalnya memotret dan memahami (1) prinsip dan maksim kesantunan penuturan wacana, (2) prinsip maksim kerjasama penuturan wacana, (3) prinsip dan maksim kelakar dalam wacana humor, (4) prinsip dan maksim persuasif dalam wacana pariwara, (5) prinsip dan maksim tutur dalam wacana peradilan, (6) prinsip dan maksim tutur dalam wacana negosiasi,  (7) prinsip dan maksim tutur dalam wacana debat, (8) nilai kesantunan yang terdapat dalam wacana, dan sebagainya.
Ancangan pragmatik yang ditawarkan model Grace dalam Deborah Schiffrin (2007: 269) untuk analisis wacana didasarkan pada seperangkap prinsip umum tentang kerasionalan perilaku komunikatif (PK) yang mengatakan bagaimana penutur dan mitra tutur untuk mengenali dan menggunakan informasi ysng ditawarkan dalam sebuah teks atau sebuah wacana, bersamaan dengan latar belakang pengetahuan dunia (termasuk pengetahuan konteks sosial secara langsung) untuk mengungkapkan dan lebih memahami apa yang telah dikatakan secara singkat dalam berkomunikasi.
Penerapan prinsip tersebut mengarah pada pandangan struktur wacana definite (secara nyata dapat didefinisikan) yang tahapannya menggantung batas-batas yang ditentukan oleh satu bagian wacana pada apa yang muncul dalam teks, sebab pengaruh prinsip komunikasi umum pada realisasi linguistik makna penutur pada waktu yang berbeda. Misalnya, analisis tahapan acuan kami, dinyatakan bahwa informasi tekstual dan kontekstual disajikan dalam posisi awal dalam wacana disajikan sebagai latar belakang yang menetapkan bagaimana banyaknya informasi menjadi tepat dalam posisi teks, dan juga relevansi tujuan informasi tersebut.
Penerapan prinsip kerja sama dalam satu bagian wacana membantu membatasi pilihan orang lain; secara fungsional memiliki dasar saling ketergantungan yang membantu menciptakan tahapan karakteristik aturan wacana dan membiarkan orang tersebut menggunakan teks dan konteks sebagai sumber yang komunikatif antarsesama manusia.
Penawaran pragmatik model Grice dalam Deborah Schiffrin (2007: 269) pada analisis wacana memandang bagaimana asumsi partisipan terdiri atas konteks kerja sama untuk komunikasi (satu konteks termasuk pengetahuan teks, dan situasi) memberi kontribusi makna, dan bagaimana asumsi tersebut membantu menciptakan tahapan pola bicara.
Pragmatik model Grice pada acuan peristilahan dalam sebuah cerita bermakna bahwa analisis tersebut dibantu atau ditunjukkan dalam bagian besar dan tahapan acuan yang ada dalam cerita, dari pada mengusulkan relevansi yang abstrak antara maksim-maksim dan mencoba menemukan contoh-contoh yang memperkuat relevansi tersebut.




2.      Etnografi Komunikasi
Kajian sosiolinguistik yang tergolong mendapat perhatian cukup besar adalah kajian tentang etnografi komunikasi.Etnografi adalah kajian tentang kehidupan dan kebudayaan suatu masyarakat atau etnik, misalnya tentang adat-istiadat, kebiasaan, hukum, seni, religi, bahasa. Dalam Deborah Schiffrin (2007: 185)
Menurut Hymes (1974) dalam Deborah Schiffrin (2007: 184) istilah etnografi komunikasi sendiri menunjukkan cakupan kajian berlandaskan etnografi dan komunikasi. Cakupan kajian tidak dapat dipisah-pisahkan, misalnya hanya mengambil hasil-hasil kajian dari linguistik, psikologi, sosiologi, etnologi, lalu menghubung-hubungkannya.Fokus kajiannya hendaknya meneliti secara langsung terhadap penggunaan bahasa dalam konteks situasi tertentu, sehingga dapat mengamati dengan jelas pola-pola aktivitas tutur, dan kajiannya diupayakan tidak terlepas (secara terpisah-pisah), misalnya tentang gramatika (seperti dilakukan oleh linguis), tentang kepribadian (seperti psikologi), tentang struktur sosial (seperti sosiologi), tentang religi (seperti etnologi), dan sebagainya.Dalam kaitan dengan landasan itu, seorang peneliti tidak dapat membentuk bahasa, atau bahkan tutur, sebagai kerangka acuan yang sempit.Peneliti harus mengambil konteks suatu komunitas (community), atau jaringan orang-orang, lalu meneliti kegiatan komunikasinya secara menyeluruh, sehingga tiap penggunaan saluran atau kode komunikasi selalu merupakan bagian dari khasanah komunitas yang diambil oleh para penutur ketika dibutuhkan.
Menurut Hymes dalam Deborah Schiffrin (2007: 269), linguistik yang dapat memberikan sumbangan terhadap etnografi komunikasi itulah yang kini dikenal dengan nama sosiolinguistik. Namun, sosiolinguistik itu tidak serupa dengan segala sesuatu yang baru-baru ini termasuk dengan nama sosiolinguistik. Bagi Hymes, sosiolinguistik itu memberikan sumbangan terhadap kajian komunikasi pada umumnya melalui kajian tentang organisasi alat-alat verbal dan tujuan akhir yang didukungnya. Pendekatan di dalam sosiolinguistik yang demikian itu disebut etnografi komunikasi, yaitu kajian tentang “etnografi wicara”.Untuk memahami kajian ini, Hymes menyarankan untuk mengubah orientasi peneliti terhadap bahasa, yang mencakup tujuh butir. Tekanan itu harus diarahkan kepada (1) struktur atau sistem tutur (la parole); (2) fungsi yang lebih daripada struktur; (3) bahasa sebagai tatanan, dalam arti banyak mengandung fungsi, dan fungsi yang berbeda menunjukkan perspektif dan tatanan yang berbeda; (4) ketepatan unsur linguistik dengan pesan (yang hendak disampaikan); (5) keanekaragaman fungsi dari berbagai bahasa dan alat-alat komunikasi lainnya, (6) komunitas atau konteks sosial lainnya sebagai titik tolak pemahaman- (7) fungsi-fungsi itu sendiri dikuatkan atau dibenarkan dalam konteks, dan biasanya tempat batas, dan tatanan bahasa serta alat komunikasi lainnya diangkat sebagai problematika. Secara singkat, pengutamaan lebih kepada tutur daripada kode, kepada fungsi daripada struktur, ada konteks ketimbang pesan, kepada ketepatan daripada kesewenangan atau hanya kemungkinan; tetapi antarhubungan antara semuanya itu selalu esensial, sehingga .peneliti tidak bisa hanya menggeneralisasikan kekhususan, melainkan juga mengkhususkan yang umum.
Konsep etnografi wicara di dalam sosiolinguistik menurut Hymes merupakan bagian dari kajian komunikasi secara keseluruhan.Untuk itu perlu dipahami beberapa konsep penting yang berkaitan dengan etnografi wicara.
Deborah Schiffrin (2007: 261), Ancangan kajian etnografi terhadap wacana diperlukan untuk menemukan dan menganalisis struktur-struktur dan fungsi-fungsi dari komunikasi yang mengatur penggunaan bahasa dalam situasi tutur, peristiwa tutur, dan tindak tutur.

3.      Kajian Analisis Variasi
Ancangan wacana variosionis berasal dari studi kuantitatif perubahan dan variasi linguistic.Walaupun analisis tersebut secara tipical berfokus pada pembatasan-pembatasan social dan linguistic pada varian equivalen secara semantic, ancangan tersebut juga diperluas ke arah teks.Kami melihat bahwa unit dasar narasi adalah peristiwa, unit dasar daftar adalah kesatuan. Informasi utama daftar adalah deskriftif. Pembandingan tersebut merefleksikan tendensi variasiois terhadap tuturan wacana dalam istilah yang sama yang digunakan dengan orientasi linguistic secara structural: “unit-unit” beranak-pihak ke arah konstituen: “informasi” dalam pengertian proposional (meskipun fakta bahwa proposisi sendiri memilki interpretasi evaluative);”struktur” adalah aturan sintagmatis dan paradigmatis dari unit-unit dalam pola-pola berulang (Deborah Schiffrin 2007: 426)

4.      Teori Tindak Tutur
Tindak tutur atau tindak ujar (speech act) merupakan entitas yang bersifat sentral dalam pragmatik sehingga bersifat pokok di dalam pragmatik. Tindak tutur merupakan dasar bagi nanalisis topik-topik pragmatik lain seperti praanggapan, perikutan, implikatur percakapan, prinsip kerja sama, dan prinsip kesantunan. Kajian pragmatik yang tidak mendasarkan analisisnya pada tindak tutur bukanlah kajian pragmatik dalam arti yang sebenarnya.
Suwito dalam bukunya Sosiolinguistik: Teori dan Problem mengemukakan jika peristiwa tutur (speech event) merupakan gejala sosial dan terdapat interaksi antara penutur dalam situasi dan tempat tertentu, maka tindak tutur lebih cenderung sebagai gejala individual, bersifat psikologis dan ditentukanm oleh kemampuan bahasa penutur dalam menghadapi situasi tertentu. Jika dalam peristiwa tutur orang menitikberatkan pada tujuan peristiwa, maka dalam tindak tutur lebih memperhatikan makna atau arti tindakan dalam tuturan itu.
Dari literatur pragmatik, dapat dijelaskan bahwa tindak tutur adalah tuturan dari seseorang yang bersifat psikologis dan yang dilihat dari makna tindakan dalam tuturannya itu.serangkaian tindak tutur akan membentuk suatu peristiwa tutur (speech event).
Jadi dapat disimpulkan bahwa tindak tutur merupakan suatu ujaran yang mengandung tindakan sebagai suatu fungsional dalam komunikasi yang mempertimbangkan aspek situasi tutur.
Sebelum membicarakan teori mengenai tindak tutur itu lebih lanjut lagi, ada baiknya kita bicarakan dulu mengenai pembagian jenis kalimat yang dilakukan oleh para ahli tata bahasa tradisional.Menurut tata bahasa tradisional ada tiga jenis kalimat yaitu, kalimat deklaratif, kalimat interogatif, dan kalimat imperatif.Kalimat deklaratif adalah kalimat yang isinya hanya meminta pendengar atau yang mendengar kalimat itu untuk menaruh perhatian saja, tidak usah melakukan apa-apa sebab maksud si pengujar hanya untuk memberitahukan saja.Kalimat interogatif adalah kalimat yang isinya meminta agar pendengar atau orang yang mendengar kalimat itu untuk memberi jawaban secara lisan.Jadi yang diminta bukan hanya sekedar perhatian, melainkan juga jawaban. Sedangkan kalimat imperatif adalah kalimat yang isinya meminta agar si  pendengar atau yang mendengar kalimat itu memberi tanggapan berupa tindakan atau perbuatan yang diminta.
Pembagian kalimat deklaratif, interogatif, dan imperatif adalah berdasarkan bentuk kalimat secara terlepas.Artinya kalimat dilihat atau dipandang sebagai satu bentuk keutuhan tertinggi. Kalau kalimat-kalimat itu dipandang pada tataran yang lebih tinggi yakni dari tingkat wacana maka kalimat-kalimat tersebut dapat saja menjadi tidak sama antara bentuk formalnya dengan bentuk isinya. Ada kemungkinan sebuah kalimat deklaratif atau kalimat interogatif tidak lagi berisi pernyataan dan pertanyaan melainkan menjadi berisi perintah. Hal ini dilakukan untuk mempertimbangkan norma sosial dan etika tutur. Jadi, bukan kalimat imperatif yang diujarkan melainkan kalimat deklaratif atau interogatif.
Austin(1962)  dalam Deborah Schiffrin (2007:63) membedakan kalimat deklaratif berdasarkan maknanya menjadi kalimat konstatif dan kalimat performatif. Yang dimaksud dengan kalimat konstatif adalah kalimat yang berisi pernyataan belaka seperti “Ibu dosen kami cantik sekali”, atau “Pagi tadi dia terlambat bangun”.Sedangkan yang dimaksud dengan kalimat performatif adalah kalimat yang berisi perlakuan. Artinya apa yang diucapkan oleh si pengujar berisi apa yang dilakukannya. Misalnya, kalau seorang rektor mengatakan, “Dengan mengucapkan Bismillah acara pelatihan ini saya buka”, maka makna kalimat itu adalah apa yang diucapkannya. Atau dengan kata lain, apa yang dilakukannya itu adalah apa yang diucapkannya.
Kalimat performatif dapat digunakan untuk mengungkapkan sesuatu secara eksplisit dan implisit.Secara eksplisit, artinya, dengan menghadirkan kata-kata yang mengacu pada pelaku seperti saya atau kami.Umpamanya, “Saya berjanji akan mengirimkan uang itu secepatnya”.Sedangkan kalimat performatif yang implisit adalah yang tanpa menghadirkan kata-kata yang menyatakan pelaku.Misalnya “jalan ditutup” (yang secara implisit memperingatkan untuk tidak melewati jalan itu). Di balik kalimat-kalimat performatif yang implisit itu tentunya ada pihak yang meminta agar kita melakukan apa yang dimintanya.
Austin (1960:150-163) membagi kalimat performatif menjadi lima kategori, yaitu (1) kalimat verdiktif yakni kalimat perlakuan yang menyatakan keputusan atau penilaian, misalnya, “Kami menyatakan terdakwa bersalah”; (2) kalimat eksersitif yakni kalimat perlakuan yang menyatakan nasihat, peringatan, dan sebagainya, misalnya, “Kami harap kalian setuju dengan keputusan ini”; (3) kalimat komisif adalah kalimat perlakuan yang dicirikan dengan perjanjian, pembicara berjanji dengan Anda untuk melakukan sesuatu, misalnya, “Besok kita menonton sepak bola”; (4) kalimat behatitif adalah kalimat perlakuan yang berhubungan dengan tingkah laku sosial karena seseorang mendapat keberuntungan atau kemalangan, misalnya, “Saya mengucapkan selamat atas pelantikan Anda menjadi mahasiswa teladan”; dan (5) kalimat ekspositif adalah kalimat perlakuan yang memberi penjelasan, keterangan, atau perincian kepada seseorang, misalnya, “Saya jelaskan kepada Anda bahwa dia tidak bersalah”.
Tindak tutur yang dilangsungkan dengan kalimat performatif oleh Austin (1962: 100-102) dirumuskan sebagai tiga peristiwa tindakan yang berlangsung sekaligus, yaitu:
1.      Tindak tutur lokusi, yakni tindak tutur yang menyatakan sesuatu dalam arti “berkata” atau tindak tutur dalam bentuk kalimat yang bermakna dan dapat dipahami (pernyataan). Misalnya, “Ibu berkata kepada saya agar saya membantunya”.
2.      Tindak tutur ilokusi, adalah tindak tutur yang biasanya diidentifikasikan dengan kalimat performatif yang eksplisit. Tindak tutur ilokusi biasanya berkenaan dengan pemberian izin, mengucapkan terima kasih, menyuruh, menawarkan, dan menjanjikan.Misalnya “Ibu menyuruh saya agar segera berangkat”.Kalau tindak tutur ilokusi hanya berkaitan dengan makna, maka makna tindak tutur ilokusi berkaitan dengan nilai, yang dibawakan oleh preposisinya.
3.       
4.      Tindak tutur perlokusi, adalah tindak tutur yang berkenaan dengan adanya ucapan orang lain sehubungan dengan sikap dan perilaku nonlinguistic dari orang lain itu. Misalnya, karena adanya ucapan dokter (kepada pasiennya) “Mungkin ibu menderita penyakit jantung koroner”, maka si pasien akan panik dan sedih. 
5.      Tindak tutur ilokusi adalah tindak tutur yang biasanya diidentifikasikan dengan kalimat performatif yang eksplisit.Menurut pendapat Austin ilokusi adalah tindak melakukan sesuatu.Ilokusi merupakan tindak tutur yang mengandung maksud dan fungsi atau daya tuturan. Bagi Austin, tujuan penutur dalam bertutur bukan hanya untuk memproduksi kalimat-kalimat yang memiliki pengertian dan acuan tertentu. Bahkan tujuannya adalah untuk menghasilkan kalimat-kalimat yang memberikan konstribusi jenis gerakan interaksional tertentu pada komunikasi.Tindak tutur ilokusi ini biasanya berkenaan den            gan pemberian izin, mengucapkan terima kasih, menyuruh, menawarkan, dan menjanjikan. Misalnya:
1.      Sudah hampir pukul tujuh
Kalimat di atas bila dituturkan oleh seorang suami kepada istrinya di pagi hari, selain memberi informasi tentang waktu, juga berisi tindakan yaitu mengingatkan si istri bahwa si suami harus segera berangkat ke kantor, jadi minta disediakan sarapan. Oleh karena itu, si istri akan menjawab mungkin seperti kalimat berikut, “Ya Pak! Sebentar lagi sarapan siap.
6.      Tindak tutur lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan sesuatu sebagaimana adanya atau The Act of Saying Something tindakan untuk mengatakan sesuatu.Fokus lokusi adalah makna tuturan yang diucapkan, bukan mempermasalahkan maksud atau fungsi tuturan itu.Rohmadi mendefinisikan bahwa lokusi adalah tindak bertutur dengan kata, frasa, dan kalimat sesuai dengan makna yang dikandung oleh kata, frasa, dan kalimat itu.Lokusi dapat dikatakan sebagai the act of saying something.Tindak lokusi merupakan tindakan yang paling mudah diidentifikasi karena dalam pengidentifikasiannya tidak memperhitungkan konteks tuturan. Dengan kata lain, tindak tutur lokusi adalah tindak tutur yang menyatakan sesuatu dalam arti “berkata” atau tindak tutur dalam bentuk kalimat yang bermakna dan dapat dipahami. Misalnya:
1)      Jembatan Suramadu menghubungkan Pulau Jawa dan Pulau Madura
2)      Tahun 2004 gempa dan tsunami melanda Banda Aceh.
Dua kalimat di atas dituturkan oleh seorang penutur semata-mata hanya untuk memberi informasi sesuatu belaka, tanpa tendensi untuk melakukan sesuatu.apalagi untuk mempengaruhi lawan tuturnya. Informasi yang diberikan pada kalimat pertama adalah mengenai jembatan Suramadu yang menghubungkan pulau Jawa dan Pulau Madura.Sedangkan kalimat kedua memberi informasi mengenai gempa dan tsunami yang pada tahun 2004 melanda Banda Aceh.Lalu, apabila disimak baik-baik tampaknya tindak tutur louksi ini hanya memberi makna secara harfiah, seperti yang dinyatakan dalam kalimatnya.
7.      Tindak tutur perlokusi adalah tindak tutur yang berkenaan dengan adanya ucapan orang lain sehubungan dengan sikap dan perilaku nonlinguistik dari orang lain. Misalnya:
1. Rumah saya jauh sih
2. Minggu lalu saya ada keperluan keluarga yang tidak dapat ditinggalkan
Tuturan pada kalimat pertama bukan hanya memberi informasi bahwa rumah si penutur itu jauh, tetapi juga bila dituturkan oleh seorang guru kepada kepala sekolah dalam rapat penyusunan jadwal pelajaran pada awal tahun menyatakan maksud bahwa si penutur tidak dapat datang tepat waktu pada jam pertama. Maka efeknya atau pengaruhnya yang diharapkan si kepala sekolah akan memberi tugas mengajar tidak pada jam-jam pertama, melainkan pada jam-jam lebih siang. Kalimat kedua selain memberi informasi bahwa si penutur pada minggu lalu ada kegiatan di keluarga, juga bila dituturkan pada lawan tutur yang pada minggu lalu mengundang untuk hadir pada resepsi pernikahan, bermaksud juga minta maaf.Lalu, efek yang diharapkan adalah agar si lawan tutur memberi maaf kepada si penutur.
Untuk memperjelas pemahaman kita tentang lokusi, ilokusi dan perlokusi dapat kita lihat dengan memberi contoh dalam satu tuturan.
“Anjing galak itu ada di kebun”
Jika penutur yang mengatakan kalimat tersebut sedang berusaha memproduksi kalimat yang maknanya didasarkan pada acuan anjing dan kebun tertentu dalam dunia luar, maka penutur ini sedang memproduksi tindak lokusi.Sedangkan jika si penutur bermaksud memperingatkan seseorang agar tidak masuk ke dalam kebun karena di dalam kebun ada anjing galak, maka peringatan merupakan daya ilokusi ujaran itu. Dan Jika dengan mengujarkan “Anjing galak itu ada di kebun”, penutur berhasil menghalangi pendengarnya untuk masuk ke dalam kebun, maka melalui ujaran ini, penutur telah melakukan suatu tindak perlokusi.                   
Pencetus teori tindak tutur, Searle membagi tindak tutur menjadi lima kategori:
1.   Representative/asertif, yaitu tuturan yang mengikat penuturnya akan kebenaran atas apa yang diujarkan. Tindak tutur jenis ini juga disebut dengan tindak tutur asertif.Yang termasuk tindak tutur jenis ini adalah tuturan menyatakan, menuntut, mengakui, menunjukkan, melaporkan, memberikan kesaksian, menyebutkan, berspekulasi. Contoh jenis tuturan ini adalah: “Adik selalu unggul di kelasnya”. Tuturan tersebut termasuk tindak tutur representatif sebab berisi informasi yang penuturnya terikat oleh kebenaran isi tuturan tersebut.Penutur bertanggung jawab bahwa tuturan yang diucapkan itu memang fakta dan dapat dibuktikan di lapangan bahwa si adik rajin belajar dan selalu mendapatkan peringkat pertama di kelasnya. Contoh yang lain adalah: “Tim sepak bola andalanku menang telak”, “Bapak gubernur meresmikan gedung baru ini”.
2.   Direktif/impositif, yaitu tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya agar si pendengar melakukan tindakan yang disebutkan di dalam tuturan itu. Tindak tutur direktif disebut juga dengan tindak tutur impositif. Yang termasuk ke dalam tindak tutur jenis ini antara lain tuturan meminta, mengajak, memaksa, menyarankan, mendesak, menyuruh, menagih, memerintah, mendesak, memohon, menantang, memberi aba-aba. Contohnya adalah “Bantu aku memperbaiki tugas ini”.Contoh tersebut termasuk ke dalam tindak tutur jenis direktif sebab tuturan itu dituturkan dimaksudkan penuturnya agar melakukan tindakan yang sesuai yang disebutkan dalam tuturannya yakni membantu memperbaiki tugas.Indikator dari tuturan direktif adalah adanya suatu tindakan yang dilakukan oleh mitra tutur setelah mendengar tuturan tersebut.
3.   Ekspresif/evaluatif. Tindak tutur ini disebut juga dengan tindak tutur evaluatif.Tindak tutur ekspresif adalah tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya agar tuturannya diartikan sebagai evaluasi tentang hal yang disebutkan dalam tuturan itu, meliputi tuturan mengucapkan terima kasih, mengeluh, mengucapkan selamat, menyanjung, memuji, meyalahkan, dan mengkritik.Tuturan “Sudah kerja keras mencari uang, tetap saja hasilnya tidak bisa mencukupi kebutuhan keluarga”.Tuturan tersebut merupakan tindak tutur ekspresif mengeluh yang dapat diartikan sebagai evaluasi tentang hal yang dituturkannya, yaitu usaha mencari uang yang hasilnya selalu tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Contoh tuturan lain adalah “Pertanyaanmu bagus sekali” (memuji), “Gara-gara kecerobohan kamu, kelompok kita didiskualifikasi dari kompetisi ini” (menyalahkan),  “Selamat ya, Bu, anak Anda perempuan” (mengucapkan selamat).
4.   Komisif. Tindak tutur komisif adalah tindak tutur yang mengikat penuturnya untuk melaksanakan segala hal yang disebutkan dalam ujarannya, misalnya bersumpah, berjanji, mengancam, menyatakan kesanggupan, berkaul.Contoh tindak tutur komisif kesanggupan adalah “Saya sanggup melaksanakan amanah ini dengan baik”. Tuturan itu mengikat penuturnya  untuk melaksanakan amanah dengan sebaik-baiknya. Hal ini membawa konsekuensi bagi dirinya untuk memenuhi apa yang telah dituturkannya. Cotoh tuturan yang lain adalah “Besok saya akan datang ke pameran lukisan Anda”, “Jika sore nanti hujan, aku tidak jadi berangkat ke Solo”.
5.   Deklaratif/establisif/isbati, yaitu tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya untuk menciptakan hal (status, keadaan, dsb) yang baru. Tindak tutur ini disebut juga dengan istilah isbati.Yang termasuk ke dalam jenis tuutran ini adalah tuturan dengan maksud mengesankan, memutuskan, membatalkan, melarang, mengabulkan, mengizinkan, menggolongkan, mengangkat, mengampuni, memaafkan.Tindak tutur deklarasi dapat dilihat dari contoh berikut ini.
“Ibu tidak jadi membelikan adik mainan.” (membatalkan)
“Bapak memaafkan kesalahanmu.” (memaafkan)
“Saya memutuskan untuk mengajar di SMA almamater saya.” (memutuskan).
Tindak tutur juga dibedakan menjadi dua yaitu tindak tutur langsung dan tindak tutur tidak langsung.Tindak tutur langsung merupakan bentuk deklaratif yang digunakan untuk membuat suatu pernyataan, sedangkan tindak tutur tidak langsung merupakan bentuk deklaratif yang digunakan untuk membuat suatu permohonan.Penggunaan tuturan secara konvensional menandai kelangsungan suatu tindak tutur langsung.Tuturan deklaratif, tuturan interogatif, dan tuturan imperatif secara konvensional dituturkan untuk menyatakan suatu informasi, menanyakan sesuatu, dan memerintahkan mitra tutur melakukan sesuatu.Kesesuaian antara modus dan fungsinya secara konvensional inilah yang merupakan tindak tutur langsung. Sebaliknya, jika tututan deklaratif digunakan untuk bertanya atau memerintah atau tuturan yang bermodus lain yang digunakan secara tidak konvensional, tuturan itu merupakan tindak tutur tidak langsung. Misalnya, pernyataan “Di luar dingin”.Jika stuturan ini digunakan untuk membuat suatu pernyataan dengan maksud menginformasikan kepada pendengar tentang cuaca maka tuturan tersebut berfungsi sebagai tindak tutur langsung.Sedangkan jika tuturan itu digunakan untuk membuat suatu perintah atau permohonan dalam arti si penutur memohon kepada pendengar agar menutup pintu, maka tuturan tersebut berfungsi sebagai suatu tindak tutur tidak langsung.

5.      Kajian Sosiolinguistik Interaksional
Definisi di pembahasan sosiolinguistik interaksional ini bukan definisi yang semestinya.Akan tetapi, definisi di pembahasan sosiolinguistik interaksional ini adalah pandangan atau lebih tepatnya sebuah kontribusi dari dua tokoh yang akhirnya bisa mengembangkan masalah sosiolinguistik interaksional.Dalam bagian ini, Deborah (2007: 125) mendeskripsikan gagasan dasar sosiolingustik interaksional.Deborah mengawali dengan kerja Gumperz dan kemudian beralih ke kerja Goffman.
Bahwa sosiolinguistik interaksional memberikan sebuah ancangan wacana yang berfokus pada peletakan makna atau penempatan makna.Jadi, Gumperz fokus pada ditempatkanya inference (dugaan), sedangkan Goffman memberikan kerangka kerja sosiologis untuk mendeskripsikan dan memahami bentuk dan makna untuk konteks sosial dan interpersonal yang memberikan praduga untuk interpretasi makna. Mencoba menemukan penempatan makna dan mencari bagaimana makna tersebut memberi kontribusi ke arah proses dan pemerolehan interaksi.

6.      Kajian Analisis Percakapan
Analisis percakapan (AP) merupakan suatu pendekatan analisis wacana (Achmad, 2006:11) dalam http://abdurahman-padang.blogspot.com/2012/11/analisis-percakapan-pasambahan.html.  Pendekatan ini telah dipopulerkan oleh ahli sosiologi Garfinkel berdasarkan ancangan etnometodelogi dan kemudian diterapkan dalam analisis percakapan oleh Sack (1975) dan Jeffersen (1974). AP berbeda dengan cabang sosiologi karena bukan hanya mengalisis aturan sosial tapi juga mencari dan menemukan cara atau metode yang digunakan anggota masyarakat untuk menghasilkan makna aturan sosial. Analisis percakapan merupakan sebuah ancangan wacana yang menekankan konteks, relevansi konteks, berdasarkan teks.
Percakapan merupakan sumber bagi aturan sosial yang memperlihatkan adanya urutan dan struktur percakapan. AP menaruh perhatian pada masalah aturan sosial  yaitu bagaimana bahasa menciptakan dan diciptakan oleh konteks sosial, di samping pengetahuan manusia yang tidak terbatas pada pengetahuan sempit tetapi meliputi kebiasaan yang ada dan digunakan. Ringkasnya, pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari konteks dan masyarakat pemakainya, sehingga perlu dianalisis.
                                    
B.     Manfaat Kajian Wacana Dalam Konteks Indonesia
Kajian wacana memiliki manfaat yang besar apabila dikaitkan dengan koteks Indonesia yang beraneka ragam kultur dan budayanya. Manfaat tersebut antara lain sebagai berikut.
1)        Membantu masyarakat memahami berbagai permasalahan yang terjadi sekaligus mencari solusinya. Dengan adanya analisis wacana dapat membantu masyarakat untuk berpikir kritis dalam menghadapi berbagai permasalahan yang ada di dalam masyarakat. Misalnya saja, kajian wacana akan membantu dalam mendalami permasalahan berikut mencari solusi atas berbagai masalah misalnya banjir yang selalu melanda ibukota setiap tahun, memahami bursa pencalonan presiden, menangani permasalahan berkaitan dengan pengemis yang menjamur dimana-mana, kemacetan lalu lintas, dan lain sebagainya.
2)        Sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan langkah yang akan diambil setelah melihat fakta yang berkembang di masyarakat. Dalam sebuah analisis wacana pasti di dalamnya terdapat berbagai pandangan yang didukung oleh pemikiran-pemikiran yang logis. Dengan adanya bahan pertimbangan ini akan semakin memudahkan masyarakat dalam menentukan langkah. Contoh sederhana, ketika seorang wanita akan memilih produk kecantikan cocok dengan dirinya tentu terdapat banyak penawaran produk yang bervariasi mulai dari bentuk produk, harga, maupun kualitasnya. Kajian wacana ini akan membantu menganalisis untuk menentukan pilihan tersebut.
3)        Kajian wacana dapat mengungkap berbagai fakta, idealisme yang tersirat dalam sebuah wacana guna mengetahui maksud dan tujuan penulis wacana tersebut. Kajian wacana ini terutama adalah manfaat kajian wacana kritis. Kajian ini akan membantu masyarakat dalam memahami lebih dalam berkaitan dengan dominasi kekuasaan yang ada dalam wacana. Misalnya, dalam iklan di dalamnya pasti ada upaya untuk memengaruhi pemirsa/pembaca untuk menggunakan produk/jasa tertentu. Dengan adanya analisis wacana kritis akan membantu masyarakat untuk berpikir secara lebih kritis disertai berbagai pertimbangan yang matang agar tidak mudah tergoda oleh bujuk rayu iklan yang bernada bombastis tersebut.
4)        Membongkar nilai-nilai yang terkandung dalam sebuah wacana. Nilai-nilai ini tentu adalah nilai-nilai kebenaran yang sebenarnya, bukan sekedar kamuflase permainan bahasa. Masyarakat akan dituntun untuk memilah mana nilai yang baik dan mana yang tidak  sekaligus mendukung nilai-nilai yang baik tersebut agar tumbuh subur dalam budaya masyarakat, misalnya nilai kerukunan, kebersamaan, toleransi, dan lain sebagainya.
5)        Kajian wacana memberikan  kontribusi bagi perkembangan pendidikan dengan menanamkan sikap skeptic dan critical thingking terhadap segala hal. Penanaman sikap ini akan selalu meningkatkan kewaspadaan terhadap segala hal. Secara tidak langsung hal ini akan mendorong masyarakat  untuk selalu berlatih berpikir sistematis.
6)        Kajian wacana memungkinkan menganalisis fenomena-fenomena yang terjadi di lingkungan sekitar dari berbagai sudut pandang. Hal ini akan membawa dampak pada meningkatkan pemahaman dan pengetahuan dari berbagai sisi sehingga memerkaya pengalaman dan pengetahuan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar